Kangjeng Sinuhun Mangkurat I Agung – Teegalarum
Didalam babad trah Aroeng Binang disebut bahwa Eyang RT. Aroeng
Binang I atau dengan nama lain Djoko Sangrib atau Kenthol Surowidjoyo
atau yang dikenal dengan RT. Honggowongso adalah putera Pangeran poeger,
garwa ampeyan Ingkang Sinuhun Paku Buwono I Kartosuro. Djoko Sangrib
adalah putera Paku Buwono I sebelum jumeneng. Tetapi masih sebagai
Pangeran Poeger atau setidak-tidaknya masa dimana beliau masih
menyatakan diri sebagai Sunan Ngalogo Jenar yang berkeraton di desa
Purwaganda sebelah selatan desa Jenar – Kebumen.
Ada baiknya kami tulis disini silsilah raja-raja Mataram secara urut sampai dengan Paku Buwono I ialah sebagai berikut:
1. Panembahan Mataram (Ki Ageng Pemanahan)
2. Panembahan Senopati ing Ngalogo (R. Sutowidjoyo)
3. Kangjeng Sultan Anyokrowati – Sedo Krapyak
4. Kangjeng Sultan Agung Anyokrokusumo
5. Kangjeng Sinuhun Mangkurat I Agung – Teegalarum
6. Paku Buwono I
Kerajaan Mataram dengan ibukota Plered yang semula aman dan tenteram,
pada tahun 1677 diserbu oleh Trunodjoyo, putra Demang Melaja dari
Madura, dengan pasukan yang amat kuat. Sehingga keraton Plered dapat
direbut dan diduduki. Dapat dibayangkan bahwa keraton yang menjadi ajang
pertempuran menjadi rusak berat. Raja Mataram yang berkuasa waktu itu
adalah Sinuhun Mangkurat I Agung dan terpaksa melarikan diri dari
keraton meninggalkan Plered kearah Barat (Banyumas) diantar oleh
keluarga dan kedua puteranya, ialah Pangeran Adipati Anom (pewaris
tahta) dan adiknya ialah Pangeran Poeger.
Tujuan pelarian ke Barat, meskipun merupakan suatu perjalanan yang
berart dan mengerikan dengan perasaan cemas karena sewaktu-waktu dapat
disusul oleh laskar Trunojoyo. Sesampainya di desa Jenar (Kebumen),
rombongan baru dapat beristirahat dan Sinuhun Mangkurat I Agung berkata
kepada puteranya Pangeran Poeger agar tetap tinggal di Jenar untuk
membentuk pasukan yang kuat dan mengadakan konsolidasi guna
mempertahankan, apabila sewaktu-waktu pasukan Trunojoyo menyusul.
Sinuhun Mangkurat I sendiri diantar oleh putera mahkota Pangeran
Adipati Anom meneruskan perjalanan ke Banyumas. Sesampainya di Banyumas,
Mangkurat I menderita sakit yang semakin lama semakin parah hingga
wafat di Ajibarang dan dimakamkan di Tegalarum. Setelah raja wafat, maka
Pangeran Adipati Anom yang semula berniat akan pergi ke Mekah tidak
jadi dan menggantikan ayahandanya sebagai raha Mataram, jejuluk Sinuhun
Mangkurat II Amral. Penobatan Sinuhun Mangkurat II Amral dilakukan di
Banyumas.
Pangeran Poeger yang berada di Jenar mendengar kalau ayahandanya
wafat dan mengira kalau kakaknya (Pangeran Adipati Anom) sudah pergi ke
Mekah, maka Pangeran poeger menobatkan diri sebagai Sunan Ngalogo di
Jenar Kebumen. Tentu daru pihak kerajaan Mataram dan pihak kompeni tidak
mau mengakui Pangeran Poeger sebagai Sunan, karena sudah ada rajanya
yaitu Sunan Mangkurat II Amral.
Pasukan Trunojoyo benar-benar menyerbu Jenar. Perang besar terjadi di
desa Jogoboyo. Sunan Ngalogo sudah mempunyai pasukan yang kuat ditambah
orang-orang Bagelen (Kebumen). Perang dapat dimenangkan oleh Pangeran
Poeger dab pasukan Trunojoyo dikejar sampai wilayah Kediri. Pangeran
Poeger (Sunan Ngalogo) dapat merebut kembali keraton Plered, meskipun
dalam keadaan rusak berat.
Sunan Mangkurat II Amral yang berada di banyumas waktu mendengar
pasukan Trunodjoyo sudah lari sampai kediri, mengirimkan pasukannya juga
untuk memburu dan menumpas yang akhirnya dapat membunuh Trunodjoyo di
gunung Ngantang Malang. Setelah dapat menumpas Trunodjoyo dab
pasukannya, maka Sinuhun Mangkurat II pulang ke jawa Tengah dan
membangun keraton baru di Kartosuro (1677).
Dengan demikian dalam satu kerajaan Mataram ada 2 rajanya (raja
kembar), ialah Mangkurat II Amral di Kartosuro dan Sunan Ngalogo di
Plered. Kedua raja tersebut berebut kekuasaan dan pecah perang hebat
antara kakak beradik. Namun akhirnya Sunan Ngalogo (Pangeran Poeger)
sadar, bahwa yang dimusuhi adalah kakak kandung sendiri dan menyerahlah
dia kepada kakandanya Sunan Mangkurat II Amral. Oleh Mangkurat II,
Pangeran Poeger beserta semua pengikutnya diperbolehkan “nderek” di
keraton Kartosuri dan kembali memakai nama Pangeran Poeger (nderek 1660 –
1703). Peristiwa menyerahnya Sunan Ngalogo kepada kakaknya Mangkurat II
dijadikan tembang Dandang-Gulo “Semut Ireng, Anak-Anak Sapi” dan “Ono
Wong Ngoyak Macan”.
Sunan Prabu Amangkurat Agung (Raden Mas Sayidin) 13 Juli 1677
Sri Susuhunan Amangkurat Agung
atau disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Ia banyak mengalami pemberontakan selama masa pemerintahannya. Ia
meninggal dalam pelariannya tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi
(dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas Alit adiknya sendiri.
Silsilah Amangkurat I
Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya
bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang
(keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar
Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua
orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon
yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan
putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas
Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Awal pemerintahan
Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam
bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang
berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi".
Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram
dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut
seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi
kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah
Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau
sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan
tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya.
Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim
untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya
dibunuh di tengah jalan.
[[Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered]].
Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana
lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai
pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I
yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat
dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat
I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota
keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk
dibantai.
Hubungan dengan pihak lain
Amangkurat I menjalin hubungan
dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan
perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di
wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke
pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan
pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap
sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian
tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650
Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652
Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.
Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang
dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun
1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan
Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
Perselisihan dengan putra mahkota
Amangkurat I juga
berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi
Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa
jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra
Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi
gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya,
Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663.
Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir
ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri,
yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat
sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya
sendiri.
Pemberontakan Trunajaya
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari
jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu
Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama
mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan.
Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap
Amangkurat I.
Maka dimulailah [[pemberontakan Trunajaya pangeran Madura]].
Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan
Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang
dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini
pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak
Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para
pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara
Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan
kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya
dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat
yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali
memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana
Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad
Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai
berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari
istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke
pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai
kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di
Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu
terpecahlah kerajaan Mataram.
Kematian Amangkurat I
Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh
sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa
beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas
Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa
keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan
itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa
Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di
Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat
Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga
berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali
takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar
Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan
Kesultanan Mataram.
Sunan Prabu Mangkurat II [
Mataram]
Sri Susuhunan Amangkurat II
adalah pendiri
sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan
Mataram, yang memerintah tahun 1677-1703.
Ia merupakan raja Jawa pertama yang memakai pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan
Sunan Amral, yaitu [[
ejaan Jawa untuk Admiral.]]
Silsilah Keluarga
Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari
Ratu Kulon putri [[
Pangeran Pekik dari Surabaya.]]
Amangkurat II memiliki
banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III). Konon, menurut Babad Tanah Jawi ibu Amangkurat III mengguna-guna semua madunya sehingga mandul.
Perselisihan Masa Muda
Mas Rahmat dibesarkan di Surabaya. Ia kemudian pindah ke istana Plered
sebagai Adipati Anom. Namun hubungannya dengan adiknya yang bergelar
Pangeran Singasari buruk. Terdengar pula kabar kalau jabatan Adipati
Anom akan dipindahkan kepada Singasari.
Pada tahun 1661 Mas Rahmat memberontak didukung para tokoh yang
tidak suka pada pemerintahan Amangkurat I. Pemberontakan kecil itu dapat
dipadamkan. Para pendukung Mas Rahmat ditumpas semua. Namun, Amangkurat
I sendiri gagal saat mencoba meracun Mas Rahmat tahun 1663. Hubungan
ayah dan anak itu semakin tegang.
Pada tahun 1668 [[
Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi]],
gadis Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Pangeran Pekik nekad
menculik Rara Oyi untuk dinikahkan dengan Mas Rahmat. Akibatnya,
Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga. Mas Rahmat
sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya
sendiri.
Persekutuan dengan Trunajaya
Mas Rahmat diampuni ayahnya namun juga dipecat dari jabatan Adipati
Anom. Jabatan putra mahkota Mataram kemudian diberikan kepada putra yang
lain, yaitu
Pangeran Puger.
Pada tahun 1670 Mas Rahmat meminta bantuan
Panembahan Rama,
seorang guru spiritual dari keluarga Kajoran. Panembahan Rama
memperkenalkan bekas menantunya, bernama Trunajaya dari Madura sebagai
alat pemberontakan Mas Rahmat.
Pada tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang ditolak
Amangkurat I saat meminta sebidang tanah di Mataram. Diam-diam Mas
Rahmat memberi mereka tanah di [[
desa Demung]], dekat Besuki. Mereka kemudian bergabung dalam pemberontakan Trunajaya.
Kekuatan Trunajaya semakin besar dan sulit dikendalikan. Mas
Rahmat merasa bimbang dan memilih berada di pihak ayahnya. Ia kembali
menjadi putra mahkota, karena Pangeran Puger sendiri berasal dari
keluarga Kajoran (pendukung pemberontak).
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya menyerbu istana
Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat, sedangkan
istana dipertahankan oleh
Pangeran Puger sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung Trunajaya. Namun Pangeran Puger sendiri akhirnya terusir ke [[
desa Kajenar]].
Persekutuan dengan VOC
Amangkurat I meninggal dalam perjalanan pada 13 Juli 1677. Menurut Babad
Tanah Jawi, minumannya telah diracun oleh Mas Rahmat. Meskipun
demikian, Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja selanjutnya, tapi
disertai kutukan bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja kecuali
satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Mas Rahmat disambut baik oleh
Martalaya bupati Tegal.
Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi Trunajaya. Tiba-tiba
keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah
padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya bekerja sama
dengan VOC.
Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak
VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai
Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan
pembayaran biaya perang Trunajaya.
Mas Rahmat
pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang
raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri
pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan
menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
Membangun Istana Kartasura
Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di
hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama
Kartasura.
Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered
setelah kota itu ditinggalkan Trunajaya. Ia menolak bergabung dengan
Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukan Mas
Rahmat (kakaknya) melainkan anak
Cornelis Speelman yang menyamar.
Perang antara Plered dan Kartasura meletus pada bulan November
1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan
Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran
Puger menyerah kalah.
Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.
Sikap Amangkurat II terhadap VOC
Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah
dipengaruhi. Pangeran Puger adiknya, jauh lebih berperan dalam
pemerintahan. Ia naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya
perang sebesar 2,5 juta gulden. Tokoh anti VOC bernama Patih
Nerangkusuma berhasil menghasutnya agar lepas dari jeratan hutang
tersebut.
Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang
keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di Gunung Kidul ini
berhasil dipadamkan.
Pada tahun 1685 Amangkurat II menampung buronan VOC bernama Untung Suropati yang tinggal di rumah Patih Nerangkusuma.
Untung Suropati diberinya tempat tinggal di [[
desa Babirong]] untuk menyusun kekuatan.
Bulan Februari 1686 Kapten Francois Tack tiba di Kartasura untuk
menangkap Untung Suropati. Amangkurat II pura-pura membantu VOC.
Pertempuran terjadi. Pasukan Untung Suropati menumpas habis pasukan
Kapten Tack. Sang kapten sendiri mati dibunuh oleh pasukan Untung
Suropati
Amangkurat II kemudian merestui Untung Suropati dan Nerangkusuma
untuk merebut Pasuruan. Anggajaya bupati Pasuruan yang semula diangkat
Amangkurat II terpaksa menjadi korban. Ia melarikan diri ke Surabaya
bergabung dengan adiknya yang bernama Anggawangsa alias Adipati
Jangrana.
Akhir Kehidupan Amangkurat II
Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar. Pihak VOC menemukan
surat-surat Amangkurat II kepada Cirebon, Johor, Palembang, dan bangsa
Inggris yang isinya ajakan untuk memerangi Belanda. Amangkurat II juga
mendukung pemberontakan Kapten Jonker tahun 1689.
Pihak VOC menekan Kartasura untuk segera melunasi biaya perang
Trunajaya sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha
memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang Untung Suropati di
Pasuruan.
Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya,
terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.
Susuhunan
Pakubuwono I / Pangeran Puger ? (Susuhunan Paku Buwana Senapati
Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa) [
Mataram]
kematian: 1719
==
Pangeran Puger ==
Pangeran Puger (lahir: Mataram, ? - wafat: Kartasura, 1719)
adalah raja ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar
Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 - 1719.
Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja
agung yang bijaksana.
[[
Asal-usul]]Nama asli Pangeran Puger adalah
Raden Mas Darajat. Ia merupakan putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari
Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang.
Mas Darajat pernah diangkat menjadi pangeran adipati anom
(putra mahkota), ketika terjadi perselisihan antara Amangkurat I dengan
Mas Rahmat. Mas Rahmat adalah kakak tiri Mas Darajat yang lahir dari
Ratu Kulon atau permaisuri pertama. Amangkurat I mencopot jabatan
adipati anom dari Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Mas Darajat.
Namun, ketika Keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan
Trunajaya tahun 1674, Amangkurat I terpaksa menarik kembali jabatan
tersebut dari tangan Mas Darajat.
Perang Di Plered
Puncak pemberontakan Trunajaya terjadi
pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan
besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Plered.
Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Adipati Anom (Mas
Rahmat) untuk mempertahankan istana. Namun, Adipati Anom menolak dan
memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak
tirinya tersebut untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa tidak semua
anggota Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunajaya.
Ketika pasukan Trunajaya tiba di istana Plered, pihak Amangkurat I
telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya.
Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa
Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Kerajaan
Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga.
Trunajaya menjarah harta pusaka keraton Mataram. Ia kemudian
pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ingalaga kembali
ke Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja
bertugas di sana. Sunan Ingalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja
Mataram yang baru.
Perang Saudara
Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di
daerah Tegal. ia sempat menunjuk Adipati Anom sebagai raja Mataram yang
baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat
II pun meminta bantuan VOC - Belanda. pemberontakan Trunajaya akhirnya
berhasil ditumpas pada akhir tahun 1679.
Amangkurat II merupakan raja tanpa istana karena Plered telah
diduduki Sunan Ingalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru
di hutan Wanakerta, yang diberi nama Kartasura pada bulan September
1680. Amangkurat II kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung
dengannya tapi panggilan tersebut ditolak.
Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara.
Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada
Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga
pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya
sebagai Amangkurat II.
Kekalahan Pangeran Puger menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang
kemudian menjadi daerah bawahan Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian,
naskah-naskah babad tetap memuji keberadaan Pangeran Puger sebagai orang
istimewa di Kartasura. Yang menjadi raja memang Amangkurat II, namun
pemerintahan kasunanan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu.
Hal ini dapat dimaklumi karena naskah-naskah babad ditulis pada zaman
kekuasaan raja-raja keturunan Pangeran Puger.
Kamatian Kapten Tack
Amangkurat II berhasil naik takhta
berkat bantuan VOC, namun disertai dengan perjanjian yang memberatkan
pihak Kartasura. Ketika keadaan sudah tenang, Patih Nerangkusuma yang
anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian tersebut.
Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung
Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkapnya.
Amangkurat II pura-pura membantu VOC.
Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar
sebagai anak buah Untung Suropati.
Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada
bulan Februari 1686, sebanyak 75 orang tentara VOC, tewas ditumpas
pasukan Untung Suropati. Pasukan Untung Suropati berhasil membunuh
Kapten Tack yang tidak berhasil turun dari kudanya.
Pengungsian Ke Semarang
Amangkurat II meninggal dunia pada
tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar
Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang
melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung
kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon.
Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menjadi raja Tanah
Jawa. Pangeran Puger pun menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun
yang melihat.
Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena
banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara
paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian
Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger
memberontak.
Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan
untuk membinasakan keluarga Puger.
Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi
ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Tumenggung Jangrana, bupati
Surabaya. Namun Jangrana sendiri diam-diam memihak Puger sehingga
pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka.
Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai
perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi
Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten
Tack. Bangsa Belanda tersebut menyediakan diri membantu perjuangan
Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan
pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran
Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.
Kartasura di rebut
Pada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger
diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga
Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau lazim
disingkat Pakubuwana I.
Setahun kemudian, yaitu tahun 1705, Pakubuwana I dikawal gabungan
pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang
Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya
Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram
berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedangkan
ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.
Masa Pemerintahan
Pemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada
perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang
pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama tersebut berisi
kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5
juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk
mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar
Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil,
Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas.
Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708,
untuk kemudian dibuang ke Srilangka.
Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati
Adipati Jangrana bupati Surabaya
yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena
pihak VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan
Untung Surapati tahun 1706.
Jangrana digantikan adiknya yang bernama Jayapuspita sebagai
bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke
Kartasura dan mempersiapkan pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan
pasukan Kartasura dan VOC bergerak menyerbu Surabaya. Menurut Babad
Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di
Pasuruan dahulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Japan
(sekarang Mojokerto) tahun 1718.
Akhir Hayat
Sunan Pakubuwana I meninggal dunia pada tahun
1719. Yang menggantikannya sebagai raja Kartasura selanjutnya adalah
putranya, yang bergelar Amangkurat IV.
Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan
saudara-saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran
Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun.
Pangeran Puger Yang Lain
Dalam sejarah keluarga Kesultanan Mataram terdapat tokoh lain yang juga bergelar [[
Pangeran Puger]]. Salah satunya adalah putra Panembahan Senapati yang lahir dari selir
Nyai Adisara, bernama asli
Raden
Mas Kentol Kejuron.
Tokoh ini hidup pada zaman sebelum Pakubuwana I.
Pangeran Puger yang ini pernah memberontak pada tahun 1602 - 1604
terhadap pemerintahan adiknya, yaitu Prabu Hanyokrowati (kakek buyut
Pangeran Puger Pakubuwana I).
Sunan Prabu Amangkurat III [
Mataram]
Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau disingkat
Amangkurat III atau
Sunan Mas (lahir: ? – wafat: Srilangka, 1734), adalah raja Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 1703 – 1705.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah
Raden Mas Sutikna. Menurut Babad Tanah Jawi,
ia adalah putra Amangkurat II satu-satunya karena ibunya telah
mengguna-guna istri ayahnya yang lain sehingga mandul. Mas Sutikna juga
dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
Dikisahkan pula bahwa
Mas Sutikna berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan. Ketika menjabat sebagai Adipati Anom,
ia menikah dengan sepupunya, bernama
Raden Ayu Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh dengan
Raden Sukra putra Patih Sindureja.
Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan
Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas
Sutikna kemudian menikahi
Ayu Himpun adik Ayu Lembah.
Perselisihan dengan Pangeran Puger
Amangkurat III naik takhta di Kartasura menggantikan Amangkurat II yang
meninggal tahun 1702. Konon, menurut Babad Tanah Jawi, sebenarnya wahyu
keprabon jatuh kepada Pangeran Puger.
Dukungan terhadap Pangeran Puger pun mengalir dari para pejabat
yang tidak menyukai pemerintahan raja baru tersebut. Hal ini membuat
Amangkurat III resah. Ia menceraikan Raden Ayu Himpun dan mengangkat
permaisuri baru, seorang gadis dari
desa Onje.
Tekanan terhadap keluarganya membuat
Raden Suryokusumo
(putra Pangeran Puger) memberontak. Amangkurat III yang ketakutan segera
mengurung Pangeran Puger sekeluarga. Mereka kemudian dibebaskan kembali
atas bujukan
Patih Sumabrata.
Dukungan terhadap Pangeran Puger untuk merebut takhta kembali
mengalir. Akhirnya, pada tahun 1704, Amangkurat III mengirim utusan
untuk membunuh Pangeran Puger sekeluarga, namun sasarannya itu lebih
dulu melarikan diri ke Semarang.
Pangeran Puger di Semarang mendapat dukungan VOC, tentu saja dengan
syarat-syarat yang menguntungkan Belanda. Ia pun mengangkat dirinya
sebagai raja bergelar Pakubuwana I. Gabungan pasukannya bergerak tahun
1705 untuk merebut Kartasura. Amangkurat III membangun pertahanan di
Ungaran dipimpin
Pangeran Arya Mataram, pamannya, yang diam-diam ternyata mendukung Pakubuwana I.
Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya meninggalkan
Kartasura. Ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I, yang
tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Pemerintahan
Amangkurat III yang singkat ini merupakan kutukan Amangkurat I terhadap
Amangkurat II yang telah meracuni minumannya ketika melarikan diri saat
Kesultanan Mataram runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677
silam.
Konon, Amangkurat II dikutuk bahwa keturunannya tidak ada yang
menjadi raja, kecuali satu orang (Amangkurat III) dan itu pun hanya
sebentar. Kisah pengutukan ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi yang
ditulis pada masa pemerintahan raja keturunan Pakubuwana I sehingga
kebenarannya sulit dibuktikan.
Perang Suksesi Jawa Pertama
Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua
pusaka keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya
karena salah paham. Melihat bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo
memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari sana ia kemudian
pindah ke Kediri.
Untung Suropati
bupati Pasuruan yang anti VOC segera
mengirim bantuan untuk melindungi Amangkurat III. Gabungan pasukan
Kartasura, VOC, Madura, dan Surabaya bergerak menyerbu Pasuruan tahun
1706. Dalam pertempuran di desa Bangil, Untung Suropati tewas.
Putra-putranya kemudian bergabung dengan Amangkurat III di Malang.
Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena
diburu pasukan Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian
ke Kediri, akhirnya memutuskan menyerah di Surabaya tahun 1708.
Pembuangan ke Srilangka
Pangeran Blitar putra Pakubuwana I datang ke Surabaya meminta Amangkurat
III supaya menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat
III hanya sudi menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari
sana ia diangkut untuk diasingkan ke Srilangka. Amangkurat III akhirnya
meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke
Srilangka. Namun demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan
mengumumkan kalau pusaka Pulau Jawa yang sejati adalah Masjid Agung
Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sri Susuhunan Pakubuwana II
(lahir: Kartasura,
1711 – wafat: Surakarta, 1749) adalah raja terakhir Kasunanan Kartasura
yang memerintah tahun 1726 – 1742 dan menjadi raja pertama Kasunanan
Surakarta yang memerintah tahun 1745 – 1749.
Awal Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV dari permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1711.
Pakubuwana II naik takhta tanggal 15 Agustus 1726 dalam usia 15
tahun. Karena masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk
menguasainya. Para pejabat Kartasura pun terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat
(ibu suri), dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya.
Tokoh penting lain adalah Arya Mangkunegara kakak Pakubuwana II {lain ibu} yang dulu terlibat Perang Suksesi Jawa Kedua,
namun menyerah dan diampuni ayahnya (Amangkurat IV). Kini ia menjadi
tokoh kuat yang dibenci Patih Cakrajaya. Pada tahun 1728 Cakrajaya
berhasil menjebaknya seolah ia berselingkuh dengan istri Pakubuwana II.
Atas desakan Pakubuwana II, VOC terpaksa membuang Arya Mangkunegara ke
Srilangka, kemudian ke Tanjung Harapan.
Pada tahun 1732 terjadi perselisihan antara Pakubuwana II dengan
Patih Cakrajaya (yang juga bergelar Danureja). Pakubuwana II meminta VOC
membuang patihnya itu tahun 1733. Tentu saja VOC melaksanakan
permintaan tersebut dengan senang hati. Sebagai patih baru ialah
Natakusuma yang ternyata juga anti VOC.
Hubungan Pakubuwana II dengan VOC pada awalnya memang cukup baik.
Pakubuwana II secara rutin mengangsur hutang-hutang biaya perang sejak
zaman kakeknya, Pakubuwana I dahulu.
Geger Pacinan
Pemberontakan orang-orang Cina yang juga dikenal dengan nama Geger
Pacinan pada Oktober 1740 menjadi penyebab runtuhnya Kartasura.
Peristiwa ini dipicu oleh pembantaian warga Cina oleh masyarakat Eropa
di Batavia atas izin Adriaan Valckenier, gubernur jenderal VOC saat itu.
Warga Cina yang selamat menyingkir ke timur melancarkan aksi
penyerbuan terhadap pos-pos VOC yang mereka temui. Pakubuwana II didesak
kaum anti VOC supaya mendukung pemberontakan Cina. Maka, pada bulan
November 1741 Pakubuwana II pun mengirim 20.000 prajurit membantu kaum
pemberontak mengepung kantor VOC di Semarang. Sebelumnya, ia juga
menumpas garnisun VOC yang bertugas di Kartasura bulan Juli 1741.
Jatuhnya Kartasura
Cakraningrat IV bupati Madura (barat) adalah ipar Pakubuwana II namun
membenci pemerintahan Kartasura yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan
diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Kartasura. VOC terpaksa
menerima tawaran itu.
Keadaan pun berbalik. Kaum Cina dipukul mundur. Pakubuwana II
menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura.
Perdamaian pun dijalin.[[ Kapten Baron von Hohendorff]] tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC menandatangani perjanjian damai dengan Pakubuwana II.
Perdamaian ini membuat para pemberontak sakit hati. Mereka
mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III yang
baru berusia 12 tahun) dengan gelar Amangkurat V alias Sunan Kuning
(karena memimpin kaum kulit kuning). Mayoritas pemberontak kini bukan
lagi kaum Cina, melainkan orang-orang Jawa anti VOC, yang semakin banyak
bergabung.
Pada bulan Juni 1742 Patih Natakusuma yang anti VOC dibuang
Pakubuwana II. Para pemberontak membalas dengan menyerbu Kartasura
secara besar-besaran. Pakubuwana II dan von Hohendorff pun melarikan
diri ke Ponorogo.
Mendirikan Surakarta
Cakraningrat IV berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742 dan
mendesak VOC agar Pakubuwana II dibuang saja karena dinilai tidak setia.
Namun VOC menolak permintaan itu karena Pakubuwana II masih bisa
dimanfaatkan. Cakraningrat IV terpaksa menyerahkan Kartasura karena
khawatir VOC batal membantu kemerdekaan Madura.
Pakubuwana II kembali ke Kartasura bulan November 1743.
Sebelumnnya, Sunan Kuning telah tertangkap pada bulan Oktober.
Perjanjian dengan VOC semakin memberatkan Pakubuwana II. Selain hutang
atas biaya perang yang wajib dilunasi, raja juga dilarang mengangkat
putra mahkota dan patih tanpa mendapat persetujuan VOC terlebih dahulu.
Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memutuskan
untuk membangun istana baru di desa Sala, yang bernama Surakarta. Istana
baru ini ditempatinya mulai tahun 1745.
Keadaan Surakarta Belum Aman
Posisi Cakraningrat IV makin kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di
Jawa Timur dalam penumpasan Geger Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin
dimasukkannya ke dalam wilayah Madura, namun ditolak VOC.
Cakraningrat IV akhirnya memberontak pula. VOC secara resmi
memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745. Beberapa bulan
kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke Banjarmasin.
Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya kepada VOC.
Cakraningrat IV pun dibuang ke Tanjung Harapan.
Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih bertahan adalah
Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan
sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil
merebut daerah itu dari tangan Mas Said.
Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu
tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun
kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu
Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah
sayembara tersebut.
Muncul pula[[ Baron van Imhoff]] gubernur jenderal VOC
yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II
agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap
tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di
mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Akhir Pemerintahan Pakubuwana II
Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk
bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Meletuslah perang saudara yang
oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa Ketiga.
Di tengah panasnya suasana perang, Pakubuwana II jatuh sakit
akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, kawan lamanya yang kini menjabat
gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, tiba di Surakarta sebagai
saksi VOC atas jalannya pergantian raja. Pakubuwana II bahkan
menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada von Hohendorff.
Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai
titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan Belanda.
Sejak itu, hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram
(Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Peraturan ini
terus berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia.
Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu
tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar
Pakubuwana III.
Catatan
Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III melawan kaum pemberontak, yaitu:
1.Pangeran Mangkubumi, pamannya, kelak bergelar Hamengkubuwana I.
2.Raden Mas Said, sepupunya, kelak bergelar Mangkunegara I.
Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I [
Hamengku Buwono]
== Sri Sultan Hamengkubuwana I ==
Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus
1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun)
merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang
memerintah tahun 1755 - 1792.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah
Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar
Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama
Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia
yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II
(kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika
menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak .
Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan
pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat
IV dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said
(keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah
Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas
3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati.
Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia
dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya
membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula
Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang
makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan
daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang
keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya,
terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di
depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada
bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai
pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said
dengan puterinya yaitu
Rara Inten atau
Gusti Ratu Bendoro.
Perang Tahta Ketiga
Perang antara Mangkubumi melawan
Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang
Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi
mencapai 13.000 orang prajurit.
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi,
misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749,
Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun
menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung
Surakarta tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja
bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC
mengangkat putra Pakubuwana II sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan
demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan
Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena
bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi
Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC
yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.
Berbagi Wilayah Kekuasaan
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan
Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada
keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak
pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh
kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat
mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite
Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi
menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi
Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan
oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata.Mangkubumi
bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden
Mas Said.Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC
menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat
menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said
akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh,
yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara
adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan
Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara
langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi
mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia
merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan
kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi
dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan
naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan
Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah
menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Perjanjian
Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara
pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC
menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas
Said.
Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah
permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan
Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi
bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan
menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram
yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca
bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah
Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan
pembagian Mataram.
Mendirikan Yogyakarta
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua.
Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar
Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang
sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat
untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana
Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa
tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka
Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian
kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat
pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat
mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu
kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama
Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari
Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta
sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang
dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama
Kesultanan Yogyakarta.
Usaha Menaklukkan Surakarta
Hamengkubuwana I meskipun telah
berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan
warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin
Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga
niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan
ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang
terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan
monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang
jauh lebih cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sebagai penguasa
memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga ingin
mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV
mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran
Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono
I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga
tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC
resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa
menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta
dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang
dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi
Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini
dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab
Kerajaan.
Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya
penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang
meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang
meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias
Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman
pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV
di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat
Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah
untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh
VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah
bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan
ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan
putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya
kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan waris dari
Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.
Sebagai Pahlawan Nasional Hamengkubuwana I meninggal dunia
tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan
putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan
Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram
sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya
waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya
bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli
dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya
arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton
Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang
terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan
nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan
berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I
pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah
benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras
menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya.
Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan
Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di
Jawa (sejak 1619 - 1799).
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian
diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah
berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan
Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006
beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.
Pangeran Hadipati Mangkunegara (Th:1757-1795) [
Mangkunegara]
NAMANYA membikin gentar:
Pangeran Samber Nyawa.
Dengan nama kecil
Raden Mas Said, Pangeran juga dikenal sebagai
Sri Mangkunegoro I. Gelarnya:
Kangjeng Gusti Pangeran Hadipati Haryo Mangkunegoro Senopati Ngayudo Lelono Joyomiseno Satriyo Tomo Mentaram Prawirohadiningrat.
Ialah pendiri kerajaan Mangkunegaran Surakarta pada tahun 1757. Sabtu 6
Juli kemarin, hari meninggalnya yang ke-184 tahun diperingati secara
istimewa. Sejak berusia 16 tahun pada 1741, ia melawan kompeni Belanda
-- dalam jangka 16 tahun pula lamanya. Karena 184 tahun juga berarti 23
windu, peringatan wafat itu pun disebut khol agung -- haul, bahasa Arab,
berarti putaran setahun. Wajahnya Bercahaya Tapi tak seorang pernah
mengenal wajah sang pangeran. Tak ada gambar, lukisan maupun potretnya.
Juga di Museum Mangkunegaran benda-benda itu tak tersimpan.
Di sana hanya terpajang gambar-gambar Mangkunegoro II, III, IV, V ,
VI dan VII. Kenapa? Kecuali mungkin justru untuk menghormati
kekeramatannya, sejak remajanya sang pangeran memang pantang berpotret.
Keadaan ini berlanjut sampai 28 Desember 1795, ketika pada usia 72 tahun
ia berpulang setelah 40 tahun memerintah.
Meninggalkan seorang permaisuri, tujuh selir dan 25 putera, Samber Nyawa
dimakamkan di tempat dulu ia pernah bertapa yaitu desa Mangadeg, di
bukit Bangun lereng gunung Lawu antara Matesih dan Tawangmangu,
kabupaten Karanganyar, 35 kilometer sebelah timur kota Sala. Dan kini,
orang pun tak diizinkan memotret makamnya. Ada yang percaya, tak seekor
burung berani terbang di atas pekuburan itu. Bahkan kalau saja ada
pesawat udara yang berani melintasinya, itu pesawat bakal jatuh
berantakan, begitu. Dikisahkan pula bagaimana sang pangeran mendapatkan
pasangan hidup. Bersama 58 pengikutnya -- 18 di antaranya pasukan berani
mati -- Samber Nyawa menyusun kekuatan di desa Laroh, Wonogiri. Rakyat
yang berdiri di belakangnya Dun menyambutnya dengan menggelarkan
wayangkulit semalam suntuk. Karena inilah Raden Mas Said bertemu dengan
Rubiyah, puteri Kyai Kasan Iman dari desa Matah yang pada setiap malam
Selasa Kliwon (disebut malam hanggorokasih) wajahnya bercahaya. Sebagai
permaisuri, Rubiyah mendapat nama Raden Ayu Mangkunegoro Sepuh bergelar
Raden Ayu Kusumo Patahan. Sang pangeran memang telah menjadi tokoh
legendaris di kalangan orang Jawa.
MAKAM AMANGKURAT AGUNG I
Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I adalah
raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak
dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia banyak mengalami pemberontakan
selama masa pemerintahannya. Ia meninggal dalam pelariannya tahun 1677
dan dimakamkan di Tegalwangi (dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan
gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya
ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas
Alit adiknya sendiri.
Makam Ratu Kencono istri
Amangkurat Agung I
Silsilah Amangkurat I
Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya
bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang
(keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar
Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang
permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang
melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan
putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas
Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Awal pemerintahan
Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan
ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan
secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat,
lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa
Jawa kata Amangku yang berarti “memangku”, dan kata Rat yang berarti
“bumi”, jadi Amangkurat berarti “memangku bumi”. Demikianlah, ia menjadi
raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah
bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota
keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram
yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem
makam para adipati haryo reksonegoro dan kerabatnya
Tegalarum TEGAL
pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh
senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya,
Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk
merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di
tengah jalan.
Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini
lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta
terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan
Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang
penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para
ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti
menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya,
sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Makam Putri Raja Bagus Raden Ayu. Klenting Kuning yang menjadi istri Yudonegoro I Adipati Banyumas
Hubungan dengan pihak lain
Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya.
Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC
diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak
Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua
pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut
oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan
Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun
1659.
Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650
Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652
Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.
Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin
Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658.
Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin
datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
Perselisihan dengan putra mahkota
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas
Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh
berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran
Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal.
Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya,
Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663.
Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir
ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang
dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri
diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pemberontakan Trunajaya
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan
dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun
1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk
melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan
pemberontakan terhadap Amangkurat I.
Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan
pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong,
yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun
1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang
tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para
pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara
Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan
kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya
dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat
yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali
memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana
Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah
Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya
Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana,
Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat
kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali
keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered
dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu
terpecahlah kerajaan Mataram.
Kematian Amangkurat I
Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi,
kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat.
Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja
selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada
yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan
berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah
tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian
disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas
orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta
bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas
Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan
Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.