Ki Ageng Ngerang, seorang ulama asal
Juwana yang disegani masyarakat karena berilmu tinggi. Saking saktinya
Ki Ageng Ngerang ini,
Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Ki Ageng Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi
Roroyono yang genap dua puluh tahun. Semua muridnya diundang, termasuk Sunan Muria,
Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga
dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang tinggal berjauhan.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro
Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah
dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua
puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu
agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh
godaan setan. Tapi seorang murid Ki Ageng Ngerang yang lain yaitu
Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip
melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Ki
Ageng Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Dewi
Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona.
Sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu
terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan
lagi. Dia menggoda Dewi Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak
pantas. Tentu saja Dewi Roroyono merasa malu sekali, terlebih ketika
lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya
yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman
yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan
seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya
itu, dia pun semakin malu. Hampir saja Dewi Roroyono ditamparnya kalau
tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri sang guru.
Dewi Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadinya
karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat
sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa
menginap di rumah Ki Ageng Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya dan mengendap-endap ke
kamar Dewi Roroyono. Gadis itu disirepnya sehingga tak sadarkan diri,
kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari
gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika,
wilayah Keling atau Kediri. Setelah Ki Ageng Ngerang mengetahui
putrinya di culik oleh Pathak Warak, beliau berikrar bahwa siapa saja
yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudari
Dewi Roroyono dan bila laki-laki akan dijadikan menantu. Tak ada yang
menyatakan kesanggupannya, karena semua orang telah maklum akan
kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Ki Ageng Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” kata Sunan Muria.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa
dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara
syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa.
Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang
sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut
Diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak
mengawininya, kami hanya sekedar membantu saja.”
“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih
penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.”
kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya
itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik.
Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri
ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Seprapat yang
dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka
berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria
hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan
Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!” bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!” hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!”
“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!” umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka?”
“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit.
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tampa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria
dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan
Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali
gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan
fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu
untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juwana,
kedatangannya disambut gembira oleh Ki Ageng Ngerang. Karena Kapa dan
Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang
memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Ki Ageng Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa
Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang
kehidupannya serba berkecukupan. Sedangkan Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi
Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak bisa tidur. Wajah
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah
diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa
bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka
dambakan. Di sinilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan
pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh
Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak
terjerat oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria.
Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama
secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat
lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika hendak melaksanakan niatnya ia
dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas sebelum akhirnya Gentiri tewas menemui ajal di puncak Gunung Muria.
Kabar kematian Gentiri tersebar dengan cepat ke berbagai daerah.
Tetapi hal itu tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia
datang ke Gunung Muria secara diam-diam pada malam hari sehingga tidak
ada seorangpun mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihan beliau sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirep murid-murid Sunan Muria yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono, kemudian dengan mudahnya ia menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro Sunan Muria
bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang, Datuk di Pulau
Seprapat. Kunjungan ini biasa dilakukannya dalam rangka menjalin
persahabatan dengan pemeluk agama lain. Terlebih lagi sang wiku pernah
menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri
kakang seperguruanmu sendiri itu!” hardik Wiku Lodhang dengan marah.
“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?”
“Apa? Membela perbuatan durjana?” bentak Wiku Lodhang. “Sampai mati
pun aku takkan sudi membela kebejatan budi walau pelakunya itu muridku
sendiri!”
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria
melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan
tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang. Wiku Lodhang menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono
untuk membebaskannya dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi
Roroyono, tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa
berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria.
Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji
pamungkas yang ia miliki maka ilmu tersebut akhirnya merengut nyawanya
sendiri.
“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal
aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk
melakukan kejahatan,” gumam sang Wiku.
Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya
secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.
Nyai Ageng
Ngerang
diperkirakan lahir sebelum tahun 1478 M. Nama kecilnya adalah Dewi Roro Kasihan dan
nama lengkapnya bernama Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan Masyarakat lebih
mengenalnya dengan sebutan (gelar) Nyai Ageng Ngerang karena ia menjadi
istri Kyai Ageng Ngerang I Nyai Ageng Ngerang I
adalah seorang tokoh ulama wanita wali nukbah yang semasa dengan Dewan Walisongo yang menyebarkan agama islam di daerah Juwana dan daerah lereng pegunungan Kendeng Pati Selatan
sampai akhir hayatnya dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo,Pati,Jawa Tengah,makamnya dari kota Pati
ke arah Selatan sekitar 17 km. Nyai Ageng Ngerang merupakan
salah satu keturunan bangsawan kerajaan Majapahit Prabu Kertabumi Brawijaya V dan mempunyai nasab sampai dengan Nabi Muhammad SAW generasi ke 25 dari keluarga Bani Alawi Hadramaut. Menurut beberapa catatan
Babad
Tanah Jawi, Serat
Centhini, berbagai sumber buku, dan juga dari Keraton Surakarta Hadiningrat, silsilah Nyai Ageng Ngerang adalah
sebagai berikut:
- Suami : Ki Ageng Ngerang I
/Sunan Ngerang atau Syeh Muhammad Nurul Yaqin ialah putra Ki Ageng Jabung
trah Sunan Ngudung ayah dari Sunan Kudus
- Ayah : Raden Bondan Kejawan Aryo Lembu Peteng, Ki Ageng
Tarub II adalah putra dari Prabu Brawijaya V
- Ibu : Dewi Retno
Nawangsih
- Kakek nenek ayah: Prabu
kertabumi Brawijaya V dan Putri Wandan kuning
- Kakek nenek ibu: Ki Ageng Tarub atau Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan,seorang
bidadari kahyangan.
- Saudara Kandung:
- Ki Ageng Wonosobo atau Syeh
Abibdullah. Makamnya berada di Plobangan Selo merto Wonosobo.
- Ki Ageng Getas Pendawa atau
R.Depok atau Syeh Ngabdullah. Makamnya berada di Kahuripan Purwodadi
Grobogan.
Keturunan Kyai Ageng Ngerang/Sunan
Ngerang I dan Nyai Ageng Ngerang/Nyai Siti Rohmah Roro kasihan adalah sebagai
berikut :
1. Nyi Ageng
Selo II atau Roro Kinasih. Roro Kinasih menikah dengan Ki Ageng Selo,seorang
legendaris yang mempunyai karomah dapat menangkap petir. Ki Ageng Sela adalah keponakan sekaligus menantu
Nyai Ageng Ngerang. Keduanya mempunyai 6 putri dan 1 putra, Ki Ageng Henis.
2. Ki Ageng
Ngerang II. Ki Ageng Ngerang II ini mempunyai putra yakni: Ki Ageng Ngerang
III,Ki Ageng Ngerang IV dan Pangeran Kalijenar.
3. Ki
Ageng Ngerang III Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Raden Ayu Panengah atau
Nyi Ageng Ngerang III, salahsatu putri Sunan Kalijaga makamnya berada di
Laweyan Solo dan mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Penjawi yang
juga disebut Ki Ageng Pati karena mendapat hadiah dari Raja Pajang yang
berupa tanah perdikan yang sudah berbentuk wilayah dan berpenduduk banyak yang
sebelumnya Pati vakum pemimpin, sedangkan Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah
Tanah Alas Mentaok dan membuka Desa Mataram yang akhirnya menjadi sebuah
Kerajaan Besar.
Ki Ageng
Penjawi mempunyai putri bernama Waskita Jawi atau Roro Sari yang menjadi
permaisuri Panembahan Senopati Ngabei Loring Pasar/Danang Sutawijaya yang bergelar Ratu Mas.Dan yang satu lagi bernama Wasis Joyo Kusumo yang
bergelar Adipati Pragola Pati.
Sinuhun
Pakubuwono XIII dan Sultan Hamengkubuwono X adalah Keturunan Nyai Ageng Ngerang
generasi ke 19.
4..Roro
Nyono Roro Nyono menikah dengan Sunan Muria.Sunan Muria merupakan salah satu murid Sunan
Ngerang,suami dari Nyai Ageng Ngerang .Kisah cerita kehidupannya menjadi
legenda masyarakat Pati.
5..Roro
Pujiwat. Roro Pujiwat terkenal akan kecantikan dan kesolehannya.Namun kisah
hidupnya sangat tragis karena terbunuh oleh seorang pemuda yang ditolak
cintanya karena tak bisa memenuhi persyaratannya untuk mengambil pintu kaputren
kerajaan Majapahit dalam semalam.
Dok. Foto Pintu
Gerbang Majapahit yang terdampar Di Pati, Konon pintu ini dibawa Raden Bambang Kebo
Hanyabrang sebagai
tanda bukti, agar diakui sebagai anak sah dari Sunan Muria. dan Pintu
Gerbang Majapahit itu ingin direbut oleh Raden Rangga yang berkepentingan mempersembahkan
pintu ini sebagai tanda cinta untuk pujaan hatinya Rara Pujiwat, putri Sunan
Ngerang I.
Makam Nyai
Ageng Ngerang di Ngerang,Tambakromo kabupaten Pati Jawa Tengah didekat lereng
pegunungan Kendeng. Ketika Nyai Ageng Ngerang pindah ke daerah Tambakromo
lereng pegunungan kendeng ini beliau sudah berumur senja dan sampai akhir
hayatnya beliau dimakamkan disini.Umur beliau diperkirakan hampir 100 tahun.
Beliau
seorang wanita yang sabar dan kuat dalam menghadapi rintangan,sifatnya welas
asih kepada setiap orang bahkan kepada orang yang membenci dan menentang
ajarannya,suka membela kebenaran dan suka menolong kepada orang yang lemah.
Tak ada
catatan yang pasti tarikh wafatnya beliau.Namun sudah menjadi tradisi setiap 1 Suro dilaksanakan Haul wafatnya.Acara haul selalu dihadiri
kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat.