Babad Mlangi
Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman (BPH Sandiyo) Mlangi, tidak dapat di lepaskan dari awal mula keberadaan dusun Mlangi. untuk itu kita perlu mengetahui sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram.
Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak
diwarnai sengketa diantara para Pangeran, terutama masalah yang
menyangkut suksesi. Walaupun Raja yang sedang memerintah telah
menyiapkan penggantinya, namun setelah Raja mangkat, pergantian tahta
sering berlangsung tidak mulus. Apalagi ditambah politik penjajah
Belanda yang licik dan jahat, seringkali mengadu domba keluarga Raja
termasuk para Pangeran, yang akhirnya menjadi terpecah belah.
Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan /
AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi
VOC untuk mencampuri urusan Kerajaan. Dengan maksud memecah belah,
Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut Tahta
menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III.
Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Raja dengan gelar
Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama
R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu,
sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur /
Brang Wetan.
Dalam perjalanannya Pangeran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di
Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara
kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya
Pondok Pesantren Gedangan. Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu
adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya
menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan.
Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan
setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum. Tidak
terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan pengajian
lapanan, datang berkunjung seorang pejabat negara. Beliau adalah Adipati
Pasuruhan yang bernama Adipati Wironegoro (Untung Suropati). Adipati
Wironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro /
Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai
dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung
Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Tack.
Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan oleh
Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah Muhsin
merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan.
Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah
santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan (Lurah Pondok).
Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati
guna menyajikan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan
seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau
yakin sekali kalau santri itu adalah seorang Bangsawan.
Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang,
tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil
santrinya yang diduganya sebagai Bangsawan tadi. Demi penghormatan
terhadap Pejabat Negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil
santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya
apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya
itu.
Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun
itupun menghadap Kanjeng Adipati Wironegoro. Setelah bersalam-salaman
baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsan atau R.M. Suryo Putro
saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal
sebelumnya.
Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyagung itu meminta untuk
merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap Pangeran Suryo
Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah
seorang Bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng Adipati memohon dengan
hormat kepada Pangeran untuk sudi berkunjung ke Kadipaten dengan
menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran.
Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten Pasuruan
untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di
Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton.
Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik
dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk
putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati.
Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara
Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran Suryo
Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran Suryo
Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno Susilowati.
Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun diboyong ke
Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu.
Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan
Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik
Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan
konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul perpecahan
diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja mendapat
kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada di Surabaya
berguru di Pondok Pesantren Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah
Muhsin.
Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali
ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang
Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang
sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran berpesan
bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi
laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian
namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai
Abdullah Muhsin, agar mendidik anak tersebut sampai menguasai ilmu
agama secara sempurna. Dan setelah dewasa sang anak akan dijemput untuk
pulang ke Mataram Kartosuro.
Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi
raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng
Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726.
Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama
R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal
itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut
sudah tumbuh dewasa.
Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro
Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk
menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar
dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran.
Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah
tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya,
ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga
memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak
tanduknya yang arif dan bijak selama menjadi santri.M. Nur Iman yang
telah menguasai ilmu agama secara sempurna memang sangat didambakan oleh
Kyai Abdullah Muhsin, karena amal ilmunya yang tinggi serta
kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa setelah dewasa M. Nur Iman akan
menjadi Ulama besar yang masyhur.
Pada waktu utusan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo
atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan
keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah
pamit dan minta do’a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman
berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang
dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani. Sang Kyai berpesan
agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya sebagai seorang
ulama, yaitu menyampaiakan amar ma’ruf nahi munkar, kapan dan dimana
saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam serta mendirikan
Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal.
Dalam perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua
temannya sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam. Dari
kampung ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang
dilalui, M. Nur iman beserta kedua temanya senantiasa berdakwah, bahkan
berhasil mendirikan Pondok Pesantren. Sebut saja misalnya Pondo
Pesantren yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga
perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya
akhirnya sampai di kerajaan Mataram Kartosuro dan langsung menghadap /
sungkem pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat IV. Pada pertemuan
itu, selain bertemu dengan saudara-saudaranya, termasuk para Pangeran,
M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran Hangabei). Selain
itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di Sukowati.
Perjanjian Giyanti
Kondisi Kraton yang dilannda perpecahan akibat campur tangan Kompeni
Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo /
Kyai Nur Imasn prihatin. Hingga akhirnya terjadilah perang saudara,
dimana dalam perang ini ada dua Pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran
Samber Nyowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono.
Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan adanya huru-hara antara
bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger
Pecinan. Perang yang sangat melelahkan dan menghabiskan biaya / dana
terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian
perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Perjanjian perdamaian
tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa Giyanti, sehngga
perjanjian itupun diberi nama Perjanjian Giyanti. (Babad Palihan Nagari)
Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain :
1. Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua :
v Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto.
v Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta, menjadi milik
Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I.
2. Pangeran Samber Nyowo / R. M. Said diberi kedudukan sebagai Adipati
dengan gelar KGPAA Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah
Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegaran.
Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang
terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro
Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan
tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih
mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman. Kemudian
masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu
keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman.
Asal-usul Nama Mlangi
Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara
berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta
kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani.
Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua
temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da’wah mengembangkan agama
Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa
benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda.
Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua
temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama
Islam pun berkembang dengan pesat.
Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan
kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya
diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi
Wongso. Demang Hadi Wongso adalah penguasa desa Gelugu, yang kemudian
bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam.
Tak lama berselang, setelah demang Hadi wongso memahami bahwa Kyai Nur
Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar. Dia memohon dengan hormat agar Kyai
Nur Iman bersedia menikah dengan putrinya yang bernama MurSalah. Begitu
juga dengan kedua pendereknya, Sanusi dinikahkan dengan Maemunah,
sementara Tanmisani menikah dengan Romlah. Setelah Demang Hadi Wongso
meninggal dunia, Kyai Nur Iman sekeluarga pindah tempat ke utara,
disebelah timur Kali Progo, yaitu desa Kerisan. Di desa yang masuk
wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman bertemu dengan utusan Sultan
Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta beliau untuk kembali ke Kraton.
Pada tahun 1756, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo
Khalifatullah Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan.
Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Atas kebijaksanaan Raja, beliau memberikan hadiah berupa tanah perdikan
kepada saudara tertuanya, yaitu BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman. Oleh Kyai
Nur Iman, tanah perdikan tersebut dijadikan kampung / desa tempat
pendidikan dan pengembangan agama Islam. Tidak lama kemudian di tempat
itu berdirilah rumah yang dipergunakan untuk memberi pelajaran (Mulangi)
agama. Atau istilah sekarang disebut Pondok Pesantren. Dari asal kata
MULANGI inilah kemudian menjadi nam kampung /dusun MLANGI.
Pembangunan Masjid Patok Negoro di Mlangi.
Zaman pemerintahan Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I merupakan masa
kejayaan Yogyakarta Hadiningrat. Dalam bahasa pewayangan, Ki Dalang
biasa menyebutnya sebagai Negara yang gemah ripah pasi wukir tata
raharjo loh jinawi. Kehidupan agama dan seni budaya berkembang pesat.
Setelah wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono I digantikan putranya yang
pada waktu muda Bernama R. M. Sundoro, dengan gelar Sultan Hamengku
Buwono II. Beliau sangat nasionalis, cinta kepada negaranya dan bersedia
berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Lebih- lebih mengenai
perkembangan agama, sangat diperhatikan, hal ini telihat dari eratnya
hubungan antara ulama dengan umaro.
Di masa pemerintahannya, Sultan Hamengku Buwono II menerima arahan dari
Kyai Nur Iman, yang masih ada hubungan keluarga, untuk membangun empat
Masjid besar. Guna melengkapi dan mendampingi Masjid yang sudah berdiri
lebih dulu, yaitu Masjid di Kampung Kauman, disamping Kraton. Masjid
yang disarankan oleh Kyai Nur Iman untuk dibangun terletak di empat arah
dan diberi nama Masjid Patok Nagari / Patok Negoro :
v Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
v Di sebelah Timur terletk di desa Babadan
v Di sebelah Utara terletek di desa Ploso Kuning
v Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan
Adapun yang mengurusi Masjid-Masjid Tersebut adalah putra-putra dari Kyai Nur Iman :
v Masjid Patok Negoro Ploso Kuning diurus oleh Kyai Mursodo
v Masjid Patok Negoro Babadan diurus oleh Kyai Ageng Karang Besari
v Masjid Patok Negoro Dongkelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
v Masjid Patok Negoro Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman.
Besarnya kepedulian Sri Sultan Hamenku Buwono II untuk mendirikan masjid
didesa-desa, membuat Masjid-Masjid tersebut dikenal sebagai masjid
Kagungan Ndalem atau Masjid Kasultanan, dikarenakan kepengurusan /
Takmir Masjid termasuk Abdi Dalem Kraton.
Pada tahun 1953, oleh Ngarso Ndalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono 9
Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat yang diberi nama Masjid Jami’
Mlangi. Serah terima Masjid diwakili oleh alim ulama dan tokoh
masyarakat, antara lain ;
1. Kyai Siruddin
2. Kyai Masduki
3. M. Ngasim
Sekilas Perang Diponegoro
Sesuai dengan amanat Ayahandanya, Yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II
atau Sultan Sepuh, Sultan Hamengku Buwono III melakukan perlawanan
terhadap penjajah. Sikap nasionalis dan patriotis juga beliau wariskan
kepada putranya yang tertua yaitu Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang
pahlawan nasionalis legendaris yang populer hingga saat ini.
Dengan jiwa keberanian menentang kaum penjajah, ditambah adanya
keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perang dalam rangka membela
kebenaran dan keadilan demi tegaknya agama Allah adalah Jihad Fii
Sabiilillah. Keyakinan ini tampak dari pakaian yang dikenakan oleh
Pangeran Diponegoro yang bersurban dan berjubah, sebagaimana pakaian
seorang ulama / auliya’. Perang Diponegoro sendiri terjadi pada tahun
1825-1830.
Perang Diponegoro inipun ikut melibatkan anak cucu Mbah Kyai Nur Iman.
Hal ini sesuai dengan semangat patriotisme dan amanat Beliau kepada anak
cucunya untuk selalu menentang kaum penjajah, menegakkan kebenaran dan
keadilan serta untuk selalu berjihad dijalan Allah demi tegaknya agama
Islam. Bahkan dalam peperangan, salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman
yang bernama Kyai Salim, gugur di desa Ndimoyo. Kyai Salim yang gugur
inipun dikenal dengan nama Kyai Syahid, karena dalam Islam seorang yang
berjihad apabila gugur disebut mati Syahid.
Belanda mengakhiri Perang Diponegoro dengan cara yang licik. Dengan tipu
muslihat Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang.
Pada waktu Kanjeng Pangeran Diponegoro ditangkap, ada seorang prajurit
yang menjadi pengawal pribadi Pangeran Diponegoro yang juga ikut
ditangkap, yaitu Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari ini merupakan
salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman. Mereka ditangkap dan diasingkan
ke Manado.
Meninggalnya Mbah Kyai Nur Iman
Setelah Perang Diponegoro berakhir, Kompeni Belanda berani menghadap
Sultan Hamengku Buwono 5. Mereka membujuk dan memutarbalikkan fakta,
bahwa Pangeran Diponegoro dan seluruh pengikutnya adalah pemberontak.
Hal ini membuat prajurit dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang
masih tersisa, termasuk putro wayah Mbah Kyai Nur Iman tidak berani
kembali ke desa asalnya, karena takut ditangkap oleh Kompeni Belanda.
Dimana para pengikut dan prajurit itu mendapat tempat yang aman,
disitulah mereka bermukim. Sehingga secara tidak langsung terjadi
penyebaran penduduk dan agama. Kejadian ini juga menjadikan keturunan
Mbah Kyai Nur Iman tersebar tidak hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah,
tapi juga yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur bahkan ada yang diluar
jawa.
Sementara itu, Mbah Kyai Nur Iman sendiri memilih bertempat tinggal di
dusun Mlangi hingga akhir hayatnya, tepatnya disebelah barat Masjid
Mlangi. Setelah meninggal, Mbah Kyai Nur Iman dimakamkan di belakang
Masjid. Makam tersebut dinamakan Makam Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan
Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk kompleks Pesareyanpun berciri
khas Kraton.
Dan sebagaimana makam para Auliya’ dan Ulama Besar yang lain, Makam Mbah
Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi tamu-tamu yang berziarah dari luar
daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa. Para Peziarah ada yang perorangan
maupun berombongan.
Mbah Kyai Nur Iman Meninggalkan 14 Putra dan 4 Istri :
v Dari istri I, Beliau meninggalkan 9 orang putra dan putri, yaitu:
1. Kyai Mursodo
2. Kyai Nawawi
3. Nyai Safangatun
4. R.M.Taftoyani
5. Kyai Mansur
6. Nyai Murfakiyyah
7. Kyai Muhsin Besari
8. Kyai Musa
9. Nyai Karang Mas
v Dari istri II, Beliau meninggalkan 3 orang putra dan putri, yaitu:
1. Nyai Soleh
2. Kyai Salim
3. Nyai Jaelani
v Dari istri III, Beliau meninggalkan 2 orang putri, yaitu:
1. Nyai Abu Tohir
2. Nyai Mas Tumenggung
v Dari istri IV, Beliau meninggalkan 1 orang putra, yaitu:
1. Kyai Rofingi (R.M. Mansjur Muhyidin Tuan Guru Loning)
Diantara putra-putri Mbah Kyai Nur Iman ada yang diangkat sebagai Bupati
Sempon / Kedu, yaitu Kyai Taftoyani. Ada pula yang sebagai Penghulu
Kraton, yaitu Kyai Nawawi.
Pondok Pesantren Mlangi
Hingga saat ini, seiring dengan majunya zaman dan berkembangnya dunia
pendidikan, di dusun Mlangi telah tumbuh beberapa Pondok Pesantren,
diantaranya :
1. PP. Al-Miftah yang diasuh oleh Kyai Siruddin diteruskan oleh KH. Munahar.
2. PP. As-Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi diteruskan oleh KH. Suja’I Masduqi.
3. PP. Al-Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin diteruskan oleh Ny. Hj. Zamrudin.
4. PP. Al-Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam.
5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin diteruskan oleh Ny. Hj. Wafirudin.
6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz.
7. PP. As-Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi.
8. PP. An-Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami’an.
9. PP. Ar-Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah.
10. PP. Hidayatul Mubtadiin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim.
Adapun Pondok Pesantren yang ada diluar daerah Yogyakarta yang ternyata masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman, antara lain:
1. PP. Watu Congol, Muntilan yang diasuh oleh KH. Ali Qoishor Abdul Haq.
2. PP. Tegalrejo, Magelang yang diasuh oleh KH. M Yusuf Khudlori.
3. PP. Al-Asy’ariyyah, Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Faqih Muntaha.
4. PP. An-Nawawi, Berjan Purworejo yang diasuh oleh KH. A Khalwani.
5. PP. Bambu Runcing, Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Yusuf Muhaiminan.
6. PP. Secang, Sempu, Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali.
7. PP. Nurul Iman, Jambi yang diasuh oleh KH.Sohibdan Ny. Hj. Bahriyah.
8. PP Al hikmah Kiyangkongrejo kutoarjo yang Di Asuh Mbah Kyai Wahib
9. Yayasan Alif Yasin Sidamulya Banjarnegara yang di pimpin Gus Achmad Muhammad Najib Alqolyubi
Serta beberapa pesantren lain di daerah Kutoarjo dan daerah Cilacap dan lainnya
Selain itu, Mbah Kyai Nur Iman juga menulis 2 buah karya ilmiah, yaitu :
1. Kitab Taqwim (Ringkasan Ilmu Nahwu)
2. Kitab Ilmu Sorof (Ringkasan Ilmu Sorof)
Tradisi agamis dan amalan yang masih dilestarikan hingga saat ini, antara lain :
1. Ziaroh / ngirim Ahli Qubur dengan cara membaca tahlil dan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas, dan lain-lain.
2. Membaca Sholawat Tunjina (untuk memohon keselamatan di dalam hajatan-hajatan).
3. Membaca sholawat Nariyah (untuk selamatan orang hajat seperti orang hamil, dan lain-lain).
4. Membaca Kalimah Thoyyibah, Tahlil Pitung Lekso (Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad).
5. Manaqiban / Abdul Qodiran.
6. Dalam bentuk kesenian :
v Barzanji / Rodadan
v Sholawatan / Kojan dan lain-lain.
Untuk menghormati dan mengenang sejarah perjuangan Mbah Kyai Nur Iman,
para alim ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan Khaul, yang
diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro malam tanggal 15. Adapun
pelaksana penyelenggaraan acara Khaul Mbah Kyai Nur Iman adalah KH.
Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah dengan didukung
sepenuhnya oleh masyarakat Mlangi.
Demikianlah sejarah singkat Mbah Kyai Nur Iman atau BPH. Sandiyo,
seorang ulama dan Auliya’, sekaligus juga seorang bangsawan dan cikal
bakal pendiri dusun Mlangi.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja, setidaknya
sebagai dokumentasi serta sumbangan wawasan dan khazanah pengetahuan,
khususnya bagi yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah dan tokoh
Islam di Pualu Jawa.
Namun demikian, mengingat keterbatasan sumber-sumber yang dapat
dijadikan rujukan, baik yang tertulis maupun berupa riwayat-riwayat dan
bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka tidak
menutup kemungkinan adanya kekeliruan atau hal-hal penting yang tidak
tercantum dalam penulisan sejarah singkat ini. Untuk itu kami senantiasa
mengharapkan sumbang saran dan masukan dari siapa saja yang tentunya
akan sangat berguna bagi kelengkapan sejarah milik kita bersama ini.
RM. Masyur Muchyidin arrofingi ( Tuan Guru Loning ) mempunyai 5 istri yaitu :
1. Garwa Putri penghulu Demak, dari Istri ini beliau menurunkan ;
1. RM . Haji Ngabdurrochman
2. Garwa Alang - Alang Amba, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Fatimah / Kyai Sayyid Taslim Bulus
2. RA. Djamilah Sangid
3. RM. Haji Muhammad Nur
4. RM. Kyai Bustam
3. Garwa Putri Dipodirjo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Muhammad Zein
2. RM. Kyai Machmud
3. RA. Yai Istad
4. RM Haji Soleh
4. Garwa Putri Lurah Krojo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Chamid Tritis
5. Garwa Putri Kyai Soleh Qulhu Magelang,dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Haji Ngabdullah Mahlan
Dan ada riwayat lain Syaikh Muchyidin Arrofi'i mempunyai 10 putra putri
(9 wanita 1 pria) dari salah satu Istrinya putri dari Sayid Abu Bakar
Aljilani Alhasany
Tidak ada komentar:
Posting Komentar