Selasa, 12 Januari 2016

KYAI TUAN GURU LONING kemiri kutoarjo ( RM. MANSYUR/ KH. MUHYIDIN ARROFINGI )



KYAI TUAN GURU LONING ( RM. MANSYUR/ KH. MUHYIDIN ARROFINGI )

Raden Mas Sandeyo adalah bapak kandung tuan guru loning, yang kemudian terkenal sebagai Kyai Ageng Mlangi. Beliau adalah putera sulung dari Prabu Mangkurat Jowo (atau Mangkurat III) di Kartosuro. Sebagai seorang pangeran, belian harus banyak belajar mengenai pemerintahan, namun beliau juga senang belajar ilmu agama. Ketika beliau kembali ke keraton bersama para pengawal yang bernama Sanusi dan Tamisani, R.M. Sandeyo kemudian diangkat menjadi pangeran atau Nayoko Agung yang mewakili pemerintahan Kertosuro. Namun beliau lebih memilih untuk pergi bertapa mencari tempat untuk padepokan atau tempat untuk dijadikan pesantren. Dengan diiringi oleh kedua pengawalnya tadi, beliau bertapa untuk mendapatkan tempat yang benar-benar barokah. Ketika fajar mulai menyingsing, di waktu Dhuha, beliau menemukan hutan yang sekarang berada di sebelah tenggara Masjid Mlangi. Konon tempat tersebut ketika itu bersinar dan berbau harum. Oleh karena itu diberi nama desa Mlangi. Maka beliau berhenti berapa dan dengan dibantu oleh kedua pengawalnya mulai membabad hutan tersebut dan mendirikan pesantren yang sangat besar. Dan para pengawalnya ditempatkan di sebelah selatan Mlangi, di suatu desa yang di sebut desa Dukuh. Sebagai wangsa keraton, untuk kehidupan, beliau mendapat sawah yang luasnya sejauh suara bunyi bedug dan juga hasil-hasil dari Keraton. Kyai Ageng Mlangi juga bergelar Kyai Ageng Nurman, juga Kyai Ageng Nyabrangsepisanan. Menurut ceritera, ketika terjadi huruhara perpecahan antara Surokarto dan Ngayogyokarto (menurut sejarah perpecahan itu terjadi dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755), Kyai Ageng Nurman pergi ke Semarang, sebelum tersusul oleh musuhnya, beliau pergi menunaikan ibadah haji. Konon, beliau menggunakan kesaktian dengan melebarkan saputangan merahnya di laut untuk beliau naiki sebagi apal, kendaraan beliau untuk pergi dan kembali dari Mekkah. Kehebatan Kyai Ageng Mlangi itu membuat kagum banyak orang dari mancanegara. Banyak sekali para murid dari luar Jawa yang menuntut ilmu di psantren Kyai Ageng Mlangi. Di antaranya adalah seorang gadis cina yang cantik dari negeri Campa, yang pada akhirnya dipersunting oleh sang Kyai dan menjadi ibu dari Kyai Guru Loning. Sesungguhnya Kyai Ageng Mlangi pernah menduduki tahta kerajaan dengan gelar Hamengku Buwono I di Ngayogyokarto. tetapi hanya sebentar sekali, karena keadaan negeri yang belum begitu aman dan juga karena beliau tidak setuju dengan dan menentang praktek hukum yang berlaku, seperti hukum pancung atau picis, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Setelah lengser, beliau kembali ke Mlangi. Namun beliau tetap membantu menjaga keselamatan negara, pada waktu terjadi perang Diponegoro, beliau juga mengerahkan para pemuda untuk bergerilya. Oleh karena itu beliau tetap mendapatkan jatah untuk hidup dari keraton sampai ke puteranya Kyai Haji Nawawi. Terakhir Kyai Ageng Mlangi menikahi seorang gadis Campa atau Cina yang telah lama mengabdi pada sang Kyai. Ketika Kyai Ageng Mlangi mangkat, puteri campa itu sedang mengandung enam bulan, oleh karena beliau tidak berkenan untuk menetap di Mlangi, beliau pergi meninggalkan Mlangi menuju ke arah barat laut sampai di desa Bedungus, Kemiri, purworejo dengan berjalan kaki. Ketika tiba di desa Ngapak, di sisi timur sungai Progo, beliau berbelok ke utara, atas petunjuk kandungannya (janin dalam kandungannya) dan ini dilakukan sampai tiga kali. Kemudian, belau berjalan lurus ke barat melalui desa Kaligesing, sampai di desa Bedungus. Di sini beliau diterima oleh keluarga Kyai Sanusi, yang telah lama mengabdi dan menjadi murid Kyai Ageng Mlangi. Nyai Ageng Mlangi ini tinggal bersama keluarga Kyai Sanusi sampai melahirkan. Beliau melahirkan seorang putera laki-laki yang tampan paras mulanya. Beliau memanggil para putera Kyai Ageng Mlangi yang lain untuk menyaksikan bayi yang baru dilahirkan itu. Oleh kakak-kakaknya bayi tersebut diberi nama Raden Mas Mansoer. Sejak kecil Raden Mas Mansoer bertempat tinggal di desa Bedngus dan belajar mengaji di hadapan Kyai Soleh Qulhu di daerah Payaman, Magelang. Dia merupakan santri yang pandai yang kemudian menjadi menantu Kyai Soleh Qulhu. Di samping itu, Raden Mas Mansoer juga sering mendapat bantuan dari Patih Dipodirdjo, Purworejo, sehingga beliau dapat menunaikan ibadah haji. Beliau diambil menantu oleh Patih Dipodirdjo. Pada wkatu Raden Mas Mansoer mengaji di Demak, beliau dijadikan menantu oleh Pengulu Demak. Dari Pernikahan ini beliau mempunyai putera Raden Mas Haji Ngaburrochman. yang kemudian menjadi pengulu Demak. Raden Mas Mansoer juga memperdalam agama Islam di Aceh. Lama beliau berada di Aceh. Sepulang dari Aceh, beliau tetruko (berdiam dan membangun tempat tinggal) di Loning, warisan dari keraton yang berupa pada ilalang seluas k.l. 40 bahu atau sekitar 28.000 m2. Kemudian dibantu oleh Glondong (setingkat dengan Kepala Desa atau lurah sekarang) Loning Dipomenggolo, beliau mendirikan pesantren berupa mesjid dan pondok untuk para santri yang datang dari luar daerah seperti Denak, Magelang, Kendal, Cirebon, Surabaya, Pacitan, Banten (Jawa Barat) dan lain sebagainya. Sehingga Raden Mas Mansoer yang bergelar Kyai Muchyidin Nurrofingi sejak itu dikenal sebagai Kyai Guru Loning. Sosok Kyai Guru Loning merupakan seorang ulama yang mahir dalam ilmu agama Islam, guru Kurro' dan hafal al Qur'an. Beliau adalah seorang Guru yang mempunyai sifat kasih sayang, seorang ulama ahli wirangi, tidak bersedia mengerjakan yang tidak sepantasnya, tidak menyukai bebauan apa yang disebut mingsri (bahasa Jawa), tidak mau makan makanan dari orang tidak bertaqwa. Beliau juga sering berpuasa dan banyak mengerjakan sholat sunnah, sehari semalam bisa mencapai 41 rekaat. Beliau merupakan penyebar Agama Islam, dengan mesjid dan pondoknya di Loning, beliau mengajarkan selain beberapa kitab kuning, mengajarkan Al Qur'an dengan fasih dengan lagu Misriy, lagu Mukiyyi, Bashority. Raden Mas Mansoer mempunyai beberapa isteri : 1. Puteri Penghulu Demak, berputera: - RM Hj. Ngabdurrachman, yang kemudian menjadi Penghulu Demak 2. Puteri Ngalang-alang Ombo, berputera - R.A. Fatimah, suami Kyai Taslim (Tirip, Gebang, Purworejo) - R.A. Nyai Sangid (Djamilah) - R.M. Hj. Muhammad Nur, Pengulu Landrat, Purworejo - R.M. Kyai Busram, Loning 3. Puteri Patih Dipodirdjo berputera: - R.M. Mohamad Djen - Guru Qurro' Solotiyang - R.M. Kyai Machmud, Loning - R.A. Nyai Istad (Kyai Ngabdurrachman, Bedug) - R.M. Haji Soleh (Loning) 4. Puteri Lurah Kroya, berputera: - R.M. Chamid (Sucen, Tritir, Bayan, Purworejo) 5. Puteri Kyai Soleh Qulhu, berputera - R.M. Haji Ngabdullah Mahlan, yang menggantikan Kyai Guru Loning dalam Mengelola Masjid Loning) R.M. Haji Ngabdullah Mahlan, berputera: 1. R.M. Imam 2. R.M. Djupri 3. R.A. Kuroisyin 4. R.A. Sofiah menikah dengan : Hadiwinangoen 5. R.A. Muthoharatun menikah dengan : Sosrowardojo 6. R.M. Mohammad, mengelola Mesjid Loning 7. R.A. Machmoedah menikah dengan : Soerodikoesoemo 8. R.A. Istifaiyah
Riwayat mbah Kyai Guru Loning berkaitan erat dengan perjalanan sejarah bangsa dalam memperebutkan kemerdekaan, tepatnya pada masa perang Diponegoro.
Ide Perang Diponegoro sebetulnya adalah buah pemikiran dari Kyai Nur Iman Mlangi ( RM. Sandeyo ). Akan tetapi disebabkan Beliau sudah sepuh ( lanjut usia ) maka pelaksaan ide tersebut dipercayakan kepada muridnya yang juga terhitung cucu buyutnya yang bernama Abdul Hamid / RM. Antawirya, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Diponegoro. Selanjutnya pemimpin pergerakan melawan Belanda di lapangan adalah Diponegoro, sedangkan Kyai Nur Iman Mlangi bertindak sebagai Penasehat dan tokoh Belakang Layar. Perang tersebut berlangsung lama.

Saat Kyai Nur Iman wafat, salah seorang istri beliau yakni Putri Cina Keturunan Campa dalam keadaan hamil tua . Pada suatu ketika Putri Cina tersebut mendengar suara gaib yang sebenarnya adalah Ruh bayi yang kelak di lahirkannya. Suara itu menyuruh Putri untuk meninggalkan Mlangi. Suara gaib itu berkata " Ibu sak punika kula aturi pundah saking mriki. Monggo Ibu kula derekaken " ( Ibu sekarang saya silahkan pindah dari sini, mari saya ikuti ).
Putri Campa akhirnya mengikuti suara tersebut dan meninggalkan Mlangi menuju ke arah Selatan melewati tepian pantai. Sesampainya di daerah Grabag, suara tersebut menuntunnya ke arah Utara hingga sampai di desa Kemiri. Dari Kemiri kembali Putri Campa di tuntun untuk berjalan ke arah Barat sampai di desa Kroyo. Dari Kroyo, Putri Campa kemudian berjalan sampai di desa Bedungus sesuai dengan petunjuk suara gaib tersebut. Sesampainya di desa Bedungus suara itu berkata lagi “ Ibu pun cekap dumugi mriki kemawon, ibu lenggaha wonten dalemipun kaum Bedungus “( Ibu cukup sampai disini saja dan menetaplah di rumah kaum Bedungus ). Ternyata benar , setelah Kaum Bedungus tersebut melihat Putri Cina yang tengah hamil, ia menyuruh Putri tersebut untuk tinggal di rumahnya.
Putri Cina tinggal dan dirawat oleh Kaum Bedungus hingga melahirkan.
Saat bayi Putri tersebut telah lahir ( tahun 1799 masehi ), Putra - putra Kyai Nur Iman dari istri yang lain yang berada di Mlangi segera di undang untuk menjenguk bayi / adiknya tersebut di rumah Kaum Bedungus. Sesampainya di sana, mereka kemudian menamai bayi tersebut dengan nama RM. Mansyur.
RM. Mansyur dibesarkan di rumah Kaum Bedungus hingga dewasa. Setelah dewasa RM. Mansyur pergi menuntut ilmu di pesantren milik Kyai Soleh Qulhu Magelang, di Aceh serta di Mekah. Setelah kembali dari Mekah, RM. Mansyur berganti nama Muhyidin Arrofingi. Selanjutnya Muhyidin Arrofingi mendirikan masjid dan pondok pesantren di desa Loning kemiri kutoarjo, sehingga Beliau terkenal dengan sebutan Kyai Guru Loning. Beliau mengajarkan Al Quran dan Tafsir
Atas ketulusan Kaum Bedungus yang dengan ikhlas merawat Putri Cina dan RM. Mansyur ( anaknya ), akhirnya anak Kaum Bedungus yang bernama Kyai Zarkasih diangkat menjadi keluarga Mlangi. Kyai Zarkasih kemudian berputra Kyai sidiq, sedangkan Kyai Sidiq berputra Kyai Nawawi Berjan. Kyai Nawawi Berjan berputra Kyai Khalwani Nawawi yang kini meneruskan perjuangan pendahulunya dalam menegakkan syiar Islam dan mengasuh pondok pesantren Berjan Purworejo.

Kyai Guru Luning tidak kembali ke Mlangi akan tetapi Beliau tinggal di Loning kemiri kutoarjo hingga Akhir hayatnya pada usia 56 tahun pada bulan syawal 1855 masehi. Kyai Guru Loning ( RM. Mansyur Muhyidin Arrofingi ) dimakamkan di sebelah barat pengimaman masjid Loning. Peringatan Khoul Kyai Guru Loning juga rutin diadakan setiap tahun di masjid Loning, sedangkan Putri Cina (Ibu Kyai Guru Luning ) kemudian terkenal dengan sebutan Nyai Ngadiluwih yang makamnya terletak di desa Kemiri Purworejo.


babad mlangi yogyakarta

Babad Mlangi 

Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman (BPH Sandiyo) Mlangi, tidak dapat di lepaskan dari awal mula keberadaan dusun Mlangi. untuk itu kita perlu mengetahui sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram. 
Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak diwarnai sengketa diantara para Pangeran, terutama masalah yang menyangkut suksesi. Walaupun Raja yang sedang memerintah telah menyiapkan penggantinya, namun setelah Raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung tidak mulus. Apalagi ditambah politik penjajah Belanda yang licik dan jahat, seringkali mengadu domba keluarga Raja termasuk para Pangeran, yang akhirnya menjadi terpecah belah.
Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan / AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi VOC untuk mencampuri urusan Kerajaan. Dengan maksud memecah belah, Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut Tahta menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III.
Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu, sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur / Brang Wetan.
Dalam perjalanannya Pangeran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya Pondok Pesantren Gedangan. Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan.
Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum. Tidak terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan pengajian lapanan, datang berkunjung seorang pejabat negara. Beliau adalah Adipati Pasuruhan yang bernama Adipati Wironegoro (Untung Suropati). Adipati Wironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro / Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Tack.
Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan oleh Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah Muhsin merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan. 
Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan (Lurah Pondok). Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati guna menyajikan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau yakin sekali kalau santri itu adalah seorang Bangsawan.
Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang, tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil santrinya yang diduganya sebagai Bangsawan tadi. Demi penghormatan terhadap Pejabat Negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya itu.
Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun itupun menghadap Kanjeng Adipati Wironegoro. Setelah bersalam-salaman baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsan atau R.M. Suryo Putro saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyagung itu meminta untuk merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap Pangeran Suryo Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah seorang Bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng Adipati memohon dengan hormat kepada Pangeran untuk sudi berkunjung ke Kadipaten dengan menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran.
Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten Pasuruan untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton. Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati.
Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran Suryo Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran Suryo Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno Susilowati. Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun diboyong ke Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu.
Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul perpecahan diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja mendapat kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada di Surabaya berguru di Pondok Pesantren Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin.
Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran berpesan bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai Abdullah Muhsin, agar mendidik anak tersebut sampai menguasai ilmu agama secara sempurna. Dan setelah dewasa sang anak akan dijemput untuk pulang ke Mataram Kartosuro.
Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726. Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut sudah tumbuh dewasa.
Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro
Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran.
Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya, ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak tanduknya yang arif dan bijak selama menjadi santri.M. Nur Iman yang telah menguasai ilmu agama secara sempurna memang sangat didambakan oleh Kyai Abdullah Muhsin, karena amal ilmunya yang tinggi serta kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa setelah dewasa M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar yang masyhur.
Pada waktu utusan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah pamit dan minta do’a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani. Sang Kyai berpesan agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya sebagai seorang ulama, yaitu menyampaiakan amar ma’ruf nahi munkar, kapan dan dimana saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam serta mendirikan Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal.
Dalam perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua temannya sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam. Dari kampung ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang dilalui, M. Nur iman beserta kedua temanya senantiasa berdakwah, bahkan berhasil mendirikan Pondok Pesantren. Sebut saja misalnya Pondo Pesantren yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya akhirnya sampai di kerajaan Mataram Kartosuro dan langsung menghadap / sungkem pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat IV. Pada pertemuan itu, selain bertemu dengan saudara-saudaranya, termasuk para Pangeran, M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran Hangabei). Selain itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di Sukowati.
Perjanjian Giyanti
Kondisi Kraton yang dilannda perpecahan akibat campur tangan Kompeni Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo / Kyai Nur Imasn prihatin. Hingga akhirnya terjadilah perang saudara, dimana dalam perang ini ada dua Pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran Samber Nyowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono. 
Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan adanya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger Pecinan. Perang yang sangat melelahkan dan menghabiskan biaya / dana terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Perjanjian perdamaian tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa Giyanti, sehngga perjanjian itupun diberi nama Perjanjian Giyanti. (Babad Palihan Nagari)
Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain :
1. Kerajaan Mataram  dibagi menjadi dua :
v Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto.
v Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta, menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I.
2. Pangeran Samber Nyowo / R. M. Said diberi kedudukan sebagai Adipati dengan gelar KGPAA Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegaran.
Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman. Kemudian masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman.
Asal-usul Nama Mlangi
Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani.
Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da’wah mengembangkan agama Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda. Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama Islam pun berkembang dengan pesat.
Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi Wongso. Demang Hadi Wongso adalah penguasa desa Gelugu, yang kemudian bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam.
Tak lama berselang, setelah demang Hadi wongso memahami bahwa Kyai Nur Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar. Dia memohon dengan hormat agar Kyai Nur Iman bersedia menikah dengan putrinya yang bernama MurSalah. Begitu juga dengan kedua pendereknya, Sanusi dinikahkan dengan Maemunah, sementara Tanmisani menikah dengan Romlah. Setelah Demang Hadi Wongso meninggal dunia, Kyai Nur Iman sekeluarga pindah tempat ke utara, disebelah timur Kali Progo, yaitu desa Kerisan. Di desa yang masuk wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman bertemu dengan utusan Sultan Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta beliau untuk kembali ke Kraton.
Pada tahun 1756, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Khalifatullah Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan. Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Atas kebijaksanaan Raja, beliau memberikan hadiah berupa tanah perdikan kepada saudara tertuanya, yaitu BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman. Oleh Kyai Nur Iman, tanah perdikan tersebut dijadikan kampung / desa tempat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Tidak lama kemudian di tempat itu berdirilah rumah yang dipergunakan untuk memberi pelajaran (Mulangi) agama. Atau istilah sekarang disebut Pondok Pesantren. Dari asal kata MULANGI inilah kemudian menjadi nam kampung /dusun MLANGI.
Pembangunan Masjid Patok Negoro di Mlangi.
Zaman pemerintahan  Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I merupakan masa kejayaan Yogyakarta Hadiningrat. Dalam bahasa pewayangan, Ki Dalang biasa menyebutnya sebagai Negara yang gemah ripah pasi wukir tata raharjo loh jinawi. Kehidupan agama dan seni budaya berkembang pesat. Setelah wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono I digantikan putranya yang pada waktu muda Bernama  R. M. Sundoro, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono II. Beliau sangat nasionalis, cinta kepada negaranya dan bersedia berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Lebih- lebih mengenai perkembangan agama, sangat diperhatikan, hal ini telihat dari eratnya hubungan antara ulama dengan umaro.
Di masa pemerintahannya, Sultan Hamengku Buwono II menerima arahan dari Kyai Nur Iman, yang masih ada hubungan keluarga, untuk membangun empat Masjid besar. Guna melengkapi dan mendampingi Masjid yang sudah berdiri lebih dulu, yaitu Masjid di Kampung Kauman, disamping Kraton. Masjid yang disarankan oleh Kyai Nur Iman untuk dibangun terletak di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari / Patok Negoro :
v Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
v Di sebelah Timur terletk di desa Babadan
v Di sebelah Utara terletek di desa Ploso Kuning
v Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan
Adapun yang mengurusi Masjid-Masjid Tersebut adalah putra-putra dari Kyai Nur Iman :
v Masjid Patok Negoro Ploso Kuning diurus oleh Kyai Mursodo
v Masjid Patok Negoro Babadan diurus oleh Kyai Ageng Karang Besari
v Masjid Patok Negoro Dongkelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
v Masjid Patok Negoro Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman.
Besarnya kepedulian Sri Sultan Hamenku Buwono II untuk mendirikan masjid didesa-desa, membuat Masjid-Masjid tersebut dikenal sebagai masjid Kagungan Ndalem atau Masjid Kasultanan, dikarenakan kepengurusan / Takmir Masjid termasuk Abdi Dalem Kraton.
Pada tahun 1953, oleh Ngarso Ndalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono 9 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat yang diberi nama Masjid Jami’ Mlangi. Serah terima Masjid diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain ;
1. Kyai Siruddin
2. Kyai Masduki
3. M. Ngasim
Sekilas Perang Diponegoro
Sesuai dengan amanat Ayahandanya, Yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh, Sultan Hamengku Buwono III melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sikap nasionalis dan patriotis juga beliau wariskan kepada putranya yang tertua yaitu Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasionalis legendaris yang populer hingga saat ini. 
Dengan jiwa keberanian menentang kaum penjajah, ditambah adanya keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perang dalam rangka membela kebenaran dan keadilan demi tegaknya agama Allah adalah Jihad Fii Sabiilillah. Keyakinan ini tampak dari pakaian yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro yang bersurban dan berjubah, sebagaimana pakaian seorang ulama / auliya’. Perang Diponegoro sendiri terjadi pada tahun 1825-1830.
Perang Diponegoro inipun ikut melibatkan anak cucu Mbah Kyai Nur Iman. Hal ini sesuai dengan semangat patriotisme dan amanat Beliau kepada anak cucunya untuk selalu menentang kaum penjajah, menegakkan kebenaran dan keadilan serta untuk selalu berjihad dijalan Allah demi tegaknya agama Islam. Bahkan dalam peperangan, salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman yang bernama Kyai Salim, gugur di desa Ndimoyo. Kyai Salim yang gugur inipun dikenal dengan nama Kyai Syahid, karena dalam Islam seorang yang berjihad apabila gugur disebut mati Syahid.
Belanda mengakhiri Perang Diponegoro dengan cara yang licik. Dengan tipu muslihat Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang. Pada waktu Kanjeng Pangeran Diponegoro ditangkap, ada seorang prajurit yang menjadi pengawal pribadi Pangeran Diponegoro yang juga ikut ditangkap, yaitu Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari ini merupakan salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman. Mereka ditangkap dan diasingkan ke Manado.
Meninggalnya Mbah Kyai Nur Iman
Setelah Perang Diponegoro berakhir, Kompeni Belanda berani menghadap Sultan Hamengku Buwono 5. Mereka membujuk dan memutarbalikkan fakta, bahwa Pangeran Diponegoro dan seluruh pengikutnya adalah pemberontak. Hal ini membuat prajurit dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang masih tersisa, termasuk putro wayah Mbah Kyai Nur Iman tidak berani kembali ke desa asalnya, karena takut ditangkap oleh Kompeni Belanda. 
Dimana para pengikut dan prajurit itu mendapat tempat yang aman, disitulah mereka bermukim. Sehingga secara tidak langsung terjadi penyebaran penduduk dan agama. Kejadian ini juga menjadikan keturunan Mbah Kyai Nur Iman tersebar tidak hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tapi juga yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur bahkan ada yang diluar jawa.
Sementara itu, Mbah Kyai Nur Iman sendiri memilih bertempat tinggal di dusun Mlangi hingga akhir hayatnya, tepatnya disebelah barat Masjid Mlangi. Setelah meninggal, Mbah Kyai Nur Iman dimakamkan di belakang Masjid. Makam tersebut dinamakan Makam Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk kompleks Pesareyanpun berciri khas Kraton.
Dan sebagaimana makam para Auliya’ dan Ulama Besar yang lain, Makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi tamu-tamu yang berziarah dari luar daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa. Para Peziarah ada yang perorangan maupun berombongan.
Mbah Kyai Nur Iman Meninggalkan 14 Putra dan 4 Istri :
v Dari istri I, Beliau meninggalkan 9 orang putra dan putri, yaitu:
1. Kyai Mursodo 
2. Kyai Nawawi 
3. Nyai Safangatun
4. R.M.Taftoyani 
5. Kyai Mansur 
6. Nyai Murfakiyyah 
7. Kyai Muhsin Besari
8. Kyai Musa
9. Nyai Karang Mas
v Dari istri II, Beliau meninggalkan 3 orang putra dan putri, yaitu:
1. Nyai Soleh
2. Kyai Salim
3. Nyai Jaelani
v Dari istri III, Beliau meninggalkan 2 orang putri, yaitu:
1. Nyai Abu Tohir
2. Nyai Mas Tumenggung
v Dari istri IV, Beliau meninggalkan 1 orang putra, yaitu:
1. Kyai Rofingi (R.M. Mansjur Muhyidin Tuan Guru Loning)
Diantara putra-putri Mbah Kyai Nur Iman ada yang diangkat sebagai Bupati Sempon / Kedu, yaitu Kyai Taftoyani. Ada pula yang sebagai Penghulu Kraton, yaitu Kyai Nawawi.
Pondok Pesantren Mlangi
Hingga saat ini, seiring dengan majunya zaman dan berkembangnya dunia pendidikan, di dusun Mlangi telah tumbuh beberapa Pondok Pesantren, diantaranya :
1. PP. Al-Miftah yang diasuh oleh Kyai Siruddin diteruskan oleh KH. Munahar.
2. PP. As-Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi diteruskan oleh KH. Suja’I Masduqi.
3. PP. Al-Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin diteruskan oleh Ny. Hj. Zamrudin.
4. PP. Al-Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam.
5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin diteruskan oleh Ny. Hj. Wafirudin.
6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz.
7. PP. As-Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi.
8. PP. An-Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami’an.
9. PP. Ar-Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah.
10. PP. Hidayatul Mubtadiin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim.
Adapun Pondok Pesantren yang ada diluar daerah Yogyakarta yang ternyata masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman, antara lain:
1. PP. Watu Congol, Muntilan yang diasuh oleh KH. Ali Qoishor Abdul Haq.
2. PP. Tegalrejo, Magelang yang diasuh oleh KH. M Yusuf  Khudlori.
3. PP. Al-Asy’ariyyah, Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Faqih Muntaha.
4. PP. An-Nawawi, Berjan Purworejo yang diasuh oleh KH. A Khalwani.
5. PP. Bambu Runcing, Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Yusuf Muhaiminan.
6. PP. Secang, Sempu, Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali.
7. PP. Nurul Iman, Jambi yang diasuh oleh KH.Sohibdan Ny. Hj. Bahriyah.
8. PP Al hikmah Kiyangkongrejo kutoarjo yang Di Asuh Mbah Kyai Wahib 
9. Yayasan Alif Yasin Sidamulya Banjarnegara  yang di pimpin Gus Achmad Muhammad Najib Alqolyubi 
Serta beberapa pesantren lain di daerah Kutoarjo dan daerah Cilacap dan lainnya
Selain itu, Mbah Kyai Nur Iman juga menulis 2 buah karya ilmiah, yaitu :
1. Kitab Taqwim (Ringkasan Ilmu Nahwu)
2. Kitab Ilmu Sorof (Ringkasan Ilmu Sorof)
Tradisi agamis dan amalan yang masih dilestarikan hingga saat ini, antara lain :
1. Ziaroh / ngirim Ahli Qubur dengan cara membaca tahlil dan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas, dan lain-lain.
2. Membaca Sholawat Tunjina (untuk memohon keselamatan di dalam hajatan-hajatan).
3. Membaca sholawat Nariyah (untuk selamatan orang hajat seperti orang hamil, dan lain-lain).
4. Membaca Kalimah Thoyyibah, Tahlil Pitung Lekso (Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad).
5. Manaqiban / Abdul Qodiran.
6. Dalam bentuk kesenian :
v Barzanji / Rodadan
v Sholawatan / Kojan dan lain-lain.
Untuk menghormati dan mengenang sejarah perjuangan Mbah Kyai Nur Iman, para alim ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan Khaul, yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro malam tanggal 15. Adapun pelaksana penyelenggaraan acara Khaul Mbah Kyai Nur Iman adalah KH. Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah dengan didukung sepenuhnya oleh masyarakat Mlangi.
Demikianlah sejarah singkat Mbah Kyai Nur Iman atau BPH. Sandiyo, seorang ulama dan Auliya’, sekaligus juga seorang bangsawan dan cikal bakal pendiri dusun Mlangi. 
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja, setidaknya sebagai dokumentasi serta sumbangan wawasan dan khazanah pengetahuan, khususnya bagi yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah dan tokoh Islam di Pualu Jawa. 
Namun demikian, mengingat keterbatasan sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan, baik yang tertulis maupun berupa riwayat-riwayat dan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan atau hal-hal penting yang tidak tercantum dalam penulisan sejarah singkat ini. Untuk itu kami senantiasa mengharapkan sumbang saran dan masukan dari siapa saja yang tentunya akan sangat berguna bagi kelengkapan sejarah milik kita bersama ini.
RM. Masyur Muchyidin arrofingi ( Tuan Guru Loning ) mempunyai 5 istri yaitu :
1. Garwa Putri penghulu Demak, dari Istri ini beliau menurunkan ;
1. RM . Haji Ngabdurrochman
2. Garwa Alang - Alang Amba, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Fatimah / Kyai Sayyid Taslim Bulus
2. RA. Djamilah Sangid
3. RM. Haji Muhammad Nur
4. RM. Kyai Bustam
3. Garwa Putri Dipodirjo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Muhammad Zein
2. RM. Kyai Machmud
3. RA. Yai Istad
4. RM Haji Soleh
4. Garwa Putri Lurah Krojo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Chamid Tritis
5. Garwa Putri Kyai Soleh Qulhu Magelang,dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Haji Ngabdullah Mahlan
Dan ada riwayat lain Syaikh Muchyidin Arrofi'i mempunyai 10 putra putri (9 wanita 1 pria) dari salah satu Istrinya putri dari Sayid Abu Bakar Aljilani Alhasany ‎

Keutamaan Ziarah Kubur

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian”
(HR. Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan Ziarah kubur :
Haram hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman Allah Ta’ala:
 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At Taubah: 113)
Berziarah kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri, mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini hasan shahih”)
Dan sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if Al Jaami’, 4279)
Al Munawi berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan. Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur, ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 178-179)
Tidak benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam y‎ang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang mencapai tingkat syirik.        

Sejarah Mbah Kyai Haji Nur Iman Mlangi yogyakarta alias KGPH Sandeyo Ayahhanda RM. Mansoer/KH. Muhyidin Arrofingi/Tuan Guru loning kutoarjo

Sejarah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi / KGPH Sandeyo Ayahhanda RM. Mansoer/Tuan Guru loning. 

 

silsilah Mataram Kertosuro ( Pustaka darah ) Silsilah Kyai Nur Iman / R. Sandeyo Mlangi

        Sebelum mengupas tetentang Kyai Nur Iman Mlangi, penulis akan memaparkan secara singkat beberapa kejadian berdasarkan sejarah yang sangat erat kaitannya dengan riwayat Kyai Nur Iman Mlangi.
Pada tanggal 06 Juli 1704, Pangeran Puger yang mempunyai nama asli Raden Mas Drajat ( Beliau adalah putera dari Amangkurat I dengan isteri permaisuri keturunan Keluarga Kajoran ) diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau disingkat dengan Pakubuwana I. menurut catatan sejarah, Pangeran Puger juga pernah menyandang gelar sebagai Amangkurat II dikarenakan adanya pertentangan antara kakak pangeran Puger yang bernama Raden Mas Rahmat dengan Amangkurat I (Ayahanda mereka ), sehingga Pangeran Puger diangkat menjadi Putera Mahkota. Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677, Mas Rahmat menolak ditugasi ayahnya untuk mempertahankan kraton Mataram Kertosuro yang pada saat itu beribukota di Plered. Ia memilih mengungsi kearah Barat. Pangeran Puger kemudian tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti bahwa tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Dengan kejadian inilah kemudian Pangeran Puger menyandang gelar Amangkurat II. Namun , karena kekuatan pemberontak yang sangat besar akhirnya Pangeran Puger menyingkir ke Jenar. Di sana Beliau mendirikan kerajaan Purwakanda dan berpusat di Jenar. Ia mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke Kediri, Susuhunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu.
Amangkurat I meninggal di daerah Tegalwangi / Tegalarum. Raden Mas Rahmat menjadi Raja tanpa Tahta dengan Gelar Amangkurat II. Hal Ini disebabkan karena Plered sebagai ibukota Mataram saat itu diduduki dan dipertahankan oleh Pangeran Puger ( Amangkurat II ) yang lebih memilih mempertahankan Plered daripada mengungsi.
Amangkurat II Raden Mas Rahmat kemudian memilih membangun Kraton baru dengan nama Kartosuro pada bulan September 1680. Ia kemudian memanggil Susuhunan Ingalaga / Amagkurat II Pangeran Puger untuk bergabung dengannya, akan tetapi oleh Pangeran Puger ditolak, sehingga terjadilah perang saudara. Pada tanggasl 28 November 1681.

Susuhunan Ingalaga Amangkurat II Pangeran Puger menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin pasukan VOC, yang membantu Amangkurat II Raden Mas Rahmat. Susuhunan Ingalaga kemudian kembali bergelar Pangeran Puger dan RM Rahmat bergelar Amangkurat II. Berdasar peristiwa inilah Kyai Nur Iman Mlangi kadang juga disebut sebagai Amangkurat III, akan tetapi bukan Amangkurat Jawa, karena Amangkurat Jawa yang ada dalam sejarah adalah RM. Suryo Putro ( putra Pengeran Puger/ Ayah Kyai Nur Iman Mlangi ).


Antara Amangkurat II RM. Rahmat dan Pangeran Puger memiliki perbedaan sikap yang sangat mencolok. Amangkurat II cenderung bersifat lemah hati dan tidak teguh pendirian, sedangkan Pangeran Puger bersifat sangat tegas. Maka gelar Amangkurat II pada saat itu seperti simbol belaka, karena yang lebih banyak menjalankan roda pemerintahan saat itu adalah Pangeran Puger yang memang ditunjuk sebagai tangan kanan Amangkurat II RM. Rahmat.

Pangeran Puger wafat pada tahun 1719.
Salah satu putera Pangeran Puger adalah RM. Suryo Putro. Dikisahkan ia meninggalkan kraton Mataram menuju ke arah timur / brang wetan, tepatnya sampai di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Hal ini dikarenakan adanya perebutan tahta dan perselisihan antar saudara di kalangan istana yang merupakan ulah adu domba Belanda. RM. Suryo Putro kemudian menjadi santri disana dengan berganti nama M. Ihsan. Pada suatu saat tepatnya dalam kegiatan rutin selapanan ( 35 hari sekali ) yang diadakan di ponpes tersebut, diadakan pengajian yang tanpa disangka dihadiri oleh Adipati Wironegoro ( ini adalah gelar anugrah yang diberikan Amangkurat II kepada Untung Suropati yang ikut membantuh dalam pembunuhan Pimpinan Kompeni yang bernama Kapten Tack), M. Ihsan menjadi ketua santri dan ikut menghidangkan hidangan untuk para tamu yang hadir. Saat mondar mandir di depan Adipati tersebut, ia diamati oleh sang Adipati. Karena merasa bahwa adipati pernah bertemu sebelumnya dan yakin bahwa santri tersebut adalah seorang bangsawan, maka setelah pengajian selesai, sang adipati tidak langsung pulang tetapi malah menyuruh Kyai A. Muhsin untuk memanggil Santri M. Ihsan tersebut. Setelah bertemu dan bercakap- cakap akhirnya diketahuilah bahwa M. Ihsan memang seorang bangsawan. M. Ihsan dan Adipati akhirnya berpesan agar Kyai merahasiakan keberadaan M. Ihsan dan menganggap ia sebagai santri biasa agar tidak sampai ketahuan oleh keluarga kerajaan. Sebelum pulang, Adipati Wironegoro berpesan agar M. Ihsan sudi berkunjung ke kadipaten dengan menyamar.

Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan M Ihsan bersama Kyai datang ke kadipaten dengan alasan akan menyampaikan pesan kepada adipati tersebut agar tetap merahasiakan keberadaannya kepada kelurga Kraton. Setelah beberapa waktu berjalan dan melalui pertimbangan yang matang, akhirnya diambillah kesepakatan antara Adipati, kyai A. Muhsin dan M. Ihsan untuk menikahkan M Ihsan dengan Putri Adipati tersebut yang bernama RA. Retno Susilowati. Setelah menikah, putri tersebut diboyonglah ke ponpes Gedangan.

Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum ia pulang ke kraton, ia menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai A. Muhsin dan berpesan "Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak ia kan dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki - laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh Kyai bayi itu juga diberi nama M. Nur Iman.

Setibanya di kraton Mataram, RM. Suryo Putro langsung dinobatkan sebagai raja bergelar Amangkurat JAWA/ Amangkurat IV. Ia memerintah pada tahun 1719 - 1726. Sebelum Beliau meninggal, Beliau teringat pernah menitipkan istri pertamanya yang sedang hamil di ponpes Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin, dan mungkin anak dalam kandungan itu telah lahir dan telah dewasa. Akhirnya Beliau mengutus utusan untuk menjemput pulang anak tersebut.


Seiring waktu berlalu Nur Iman / RM Sandeyo telah tumbuh dewasa dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya, hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya M. nur Iman mau untuk pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan semua pesan nasihat dari Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama. Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan termasyhur.

Sesampainya di Kraton, M. Nur Iman langsung sungkem kepada Ayahhandanya ( Amangkurat Jawa / IV ) dan kemudian dikenalkan kepada semua kerabat kraton , juga adik - adiknya. Selain itu ia juga dianugerahi gelar KGHP. Kertosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati.
Pada saat terjadinya perang saudara antara adik - adiknya yakni Pangeran Sambernyowo / RM. Said dan Pangeran Mangkubumi / RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru - hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan GEGER Pecinan, M. Nur Iman bersama sahabatnya memilih meninggalkan istana ke arah barat. Selain berdakwah, mereka juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada para rakyat yang mereka temui. Perjalanan ke barat itu sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo. kedatangannya diterima dengan senang hati oleh demang yang bernama Hadiwongso ( penguasa daerah Gegulu ), yang kemudian demang beserta keluarganya tersebut memeluk islam. Dengan sangat hormat demang tersebut memohon agar M. Nur Iman sudi menikah dengan putrinya. Akhirnya M. Nur Iman dinikahkan dengan putri nya yang bernama Mursalah, sedangkan kedua sahabatnya juga dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Maemunah ( menikah dengan Sanusi ) dan Romlah ( menikah dengan Tanmisani).

Perselisihan antar kedua saudara M.Nur Iman tersebut akhirnya berakhir dengan perjanjian di desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang isinya antara lain :

1. Kerajaan Mataram Kertosuro dibagi menjadi 2 bagian,
- dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surokarto
- dari Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, beribukota di Yogyakarta.
2. Pangeran Sambernyowo / RM. Said diberi kedudukan sebagai adipati dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro yang kemudian diberi nama Puro Mangkunegara.
Setelah keadaan menjadi tenteram, raja - raja yang merupakan adik dari M. Nur Iman tersebut teringat akan kakaknya yang bernama RM. Sandeyo / M. Nur Iman, kemudian masing- masing raja mengutus prajuritnya untuk mencari keberadaan M. Nur Iman.

Sementara itu , setelah demang Hadiwongso ( mertua KGPH Sandeyo / M. Nur Iman ) wafat, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah RM. Sandeyo bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I ( yang tidak lain adalah adiknya ). Sultan Hamengku Buwana I kemudian meminta agar M. Nur Iman kembali ke kraton.

Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah oleh Hamengku Buwana I berupa tanah Perdikan / tanah bebas pajak . Tanah tersebut kemudian dijadikan desa dan dugunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula Pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi.

Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I menrupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yan g bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umaro pada saat itu.

Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disaranklan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah :

di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
di sebelah Timur terletak di desa Babadan
di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning
Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.
Adapun pengurus masjid tersebut adalah putra - putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni :

Masjid Ploso Kuning di urus oleh Kyai Mursodo

Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari
Masjid Dongklelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri
Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton.

Sesuai dengan Amanah Hamengku Buwana II, maka Hamengku Buwana III melakukan perlawanan kepada penjajah. Sikap patroitisme dan nasionalisme tersebut beliau wariskan kepada putranya yang bernama Kanjeng Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan semangat tinggi dan keyakinan Jihad Fi sabillillah memerangi Belanda. Hal ini tercermin dari pakaian yang ia kenakan. Perang Diponegoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830. Perang Diponegoro ini pun melibatkan anak cucu dari Mbah Kyai Nur Iman Mlangi. salahsatu putr a Kyai Nur Iman Mlangi yang gugur dalam perang ini bernama Kyai Salim. Beliau wafat di desa Ndimoyo. Selanjutnya beliau terkenal dengan sebutan Kyai Sahid.
Tipu daya licik Belanda akhirnya dapat mengakhiri perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro tertangkap di Magelang dalam sabuah perundingan. Pengawal Pribadi Pangeran Diponegoro juga iku ditangkap saat itu. Ia bernama Kyai Hasan Besari yang merupakan putra dari Kyai Nur Iman Mlangi. Mereka kemudian diasingkan ke Menado.
Setelah Perang Diponegoro berakhir, kompeni berani menghadap Hamengku Buwana III. Kompeni membujuk dan memutar balikkan fakta kepada Sultan dengan mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah pemberontak. hal ini membuat pengikut Pangeran Diponegoro yang masih tersisa termasuk para putra wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi tidak berani kembali ke desanya karena takut ditangkap kompeni. Di mana tempat yang dianggap aman, disanalah mereka tinggal. Sehingga secara tidak langsung terjadilah penyebaran penduduk dan keturunan dari Kyai Nur Iman Mlangi yang tidak hanya tersebar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja , tetapi juga menyebar hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan ada yang di luar Jawa. Sementara itu Mbah Kyai Nur Iman memilih tinggal di desa Mlangi sampai akhir hayatnya. Kyai Nur Iman Mlangi dimakamkan di belakang masjid. Makam tersebut kemudian terkenal denan sebutan makan Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk Kompeks tersebut bercirikan Kraton.
Seperti makam para Auliya' dan Ulama besar yang lain, makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi peziarah baik rombongan maupun perorangan yang berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Putra mbah Kyai Nur Iman Mlangi ada yang diangkat sebagai Bupati Kedu, Beliau bernama Kyai Taptojani. Ada juga yang diangkat sebagai penghulu Kraton Yogyakarta. Beliau bernama Kyai Nawawi.

Sampai saat ini di desa Mlangi berdiri beberapa Ponpes yaitu :

1. PP. Al Miftah yang diasuh oleh Kyai Sirrudin dan diteruskan oleh KH. Munahar
2. PP As Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi dan diteruskan oleh KH. Suja'i Masduqi
3. PP. Al Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin dan diteruskan oleh Nyai hj. Zamrudin
4. PP. Al Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam
5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin dan diteruskan oleh Nyai Hj. Wafirudin
6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz
7. PP. As Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi
8. PP. An Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami'an
9. PP. Ar Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah
10. PP. Hidayatul Mubtadin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim

Adapun Ponpes yang ada diluar Yogyakarta dan masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi adalah :
1. PP. Watu Congol Muntilan yang diasuh oleh KH. Ahmad Abdul Haq
2. PP. Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Abdurrahman Khudlori
3. PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Muntaha
4. PP. Bambu runcing Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Muhaiminan
5. PP. Secang Sempu Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali
6. PP. Nurul Iman Jambi yang diasuh oleh KH. Sohib dan Nyai Hj, Bahriyah

Karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi antara lain :
1. Kitab Taqwim ( Ringkasan Ilmu Nahwu )
2. Kitab Ilmu Sorof ( Ringkasan Ilmu Sorof )
Di museum Diponegoro Magelang juga terdapat peninggalan dari Pangeran Diponegoro berupa kitab yang selalu Beliau baca. Kitab tersebut adalah kitab karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi

Pada Tahun 1953 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat dan diberi nama Masjid Jami' Mlangi. Serah terima dari Hamengku Buwana IX kepada masyarakat diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain :
1. Kyai Sirudin
2. Kyai Masduki
3. M. Ngasim

Tradisi peninggalan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang masih dilestarikan sampai saat ini antara lain :
1. Ziaroh / ngirim ahli kubur dengan membaca tahlil dan Al Quran, surat Al Ikhlas dan lain lain.
2. Membaca sholawat Tunjina ( untuk memohon keselamatan di dalam setiap hajatan )
3. Membaca sholawat Nariyah ( untuk memohon keselamatan pada hajatan seperti orang hamil dan lain lain )
4. Membaca kalimat Thoyyibah, tahlil Pitung Leksa ( Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad )
5. Manakib Abdulqodiran
6. Barjanji / Rodadan
7. Sholawatan / Kojan dan lain- lain.

Untuk mengenang dan menghormati jasa Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, para Alim Ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan khaul yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro / Muharram malam tanggal 15.
Silsilah Mataram Kertosuro ( PUSTAKA DARAH ) dan Kyai Ageng Mlangi
Brawijaya terakhir;
R. Bondan Gejawan ( Ki Ageng tarub III );
Ki Ageng Getas Pandawa;
Ki Ageng Sela;
Ki Ageng Nis;
Kyai Ageng Pemanahan;
Panembahan Senopati;
Prabu Anyokrowati;
Prabu Sultan Agung Anyokrokusumo
Prabu Amangkurat I
Prabu Amangkurat II ( Pangeran Puger )
Prabu Amangkurat IV ( Amangkurat Jawa ) RM. Suryo Putro

RM Suryo Putro menurunkan;
1. RM. Sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi / KGP Angabehi Kertosuro )
2. KPA. Mangkunegoro I
3. KPA. Danupojo
4. RA. Pringgolojo
5. K. Susuhunan PB. II Surokarto
6. KPA. Pamot
7. KPA. Hadiwidjojo
8. KPA. Hadinegoro
9. K. Ratu Madunegoro
10. K. Sultan HB. I Ngajogjakarta
11. KP. Rogo Purboyo
12. KGPA. Panular
13. KGPA. Blitar
14. RA. Surodiningrat
15. KPA. Buminoto - Sultan Dandun Mertengsari - Adipati Setjoningrat - Panembahan Bintoro
16. KP. Singosari ( KP. Joko )
17. KGPA. Mataram
18. KGP. Martoseno
19. RA. Hendronoto
20. KGPA. Selarong
21. KGPA. Prang Uledono
22. KGPA. Buminoto

RM. sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi ) mempungai 5 orang istri yaitu :
1. Garwa Gegulu, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Mursodo
2. RM. Nawawi
3. RM Syafangatun
4. RM. TAptojani - Kyai Kedu
5. RA. Cholifah / Kyai Mansyur
6. RA. Muhammad
7. RA. Nurfakih / Murfakiyyah
8. RA. Muso - Kyai Sragen
9. RM Chasan Bisri / Muhsin Besari
10. RA. Mursilah Ngabdul Karim

2. Garwa Surati, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA Muhammad Soleh
2. RM Salim
3. RA. Jaelani

3. Garwa Kitung, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Abutohir
2. RA. Mas Tumenggung

4. Garwa Bijanganten, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Nurjamin

5. Garwa Putri Campa, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning )

RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning ) mempunyai 5 istri yaitu :
1. Garwa Putri penghulu Demak, dari Istri ini beliau menurunkan ;
1. RM . Haji Ngabdurrochman

2. Garwa Alang - Alang Amba, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Fatimah / Kyai Sayyid Taslim
2. RA. Djamilah Sangid
3. RM. Haji Muhammad Nur
4. RM. Kyai Bustam

3. Garwa Putri Dipodirjo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Muhammad Zein
2. RM. Kyai Machmud
3. RA. Yai Istad
4. RM Haji Soleh

4. Garwa Putri Lurah Krojo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Chamid Tritis

5. Garwa Putri Kyai Soleh Qulhu Magelang,dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Haji Ngabdullah Mahlan

RA Fatimah bersuami Kyai Sayyid Taslim Tirip Purworejo, menurunkan ;
1. Kyai Sayyid R. Abdurrohman Tirip Purworejo
2. Kyai Sayyid R. Abdurrohim ( makamnya di dusun Perangan, desa Keradenen, kecamatan Purwoharjo, kabupaten Banyuwangi )
3. Mbah Jahed
4. Mbah Dulkohir

Kyai RM. Chamid Tritis berputra;
Kyai R. Dahlan berputra;
Kyai R. Abu Hasan Adikarso Kebumen berputra ;
  1. Kyai Sayyid R. Habibullah
  2. Kyai Sayyid R. Muh. Nawawi Hisyam ( Gus Wawi Adikarso Kebumen )
  3. Kyai Sayyid R. Mahrus Muqorrobin
  4. Sayyidah RA. Siti Nur halimah
  5. Kyai Sayyid R. Muh. Ali Dimyati
  6. Kyai Sayyid R. Zainul Arifin
  7. Sayyidah RA. Siti Fatimah
  8. Sayyidah RA. Siti Hamidah
  9. Sayyidah RA. Nafisah
Kyai Sayyid R. Abdurrohman alm. berputra :
1. Sayyidah RA. Roikhanah alm. Plumbon Kebumen ; berputra :
  1. Sayyidah RA. Rughoyah / Makmun alm.
  2. Sayyidah RA. Rofqoniyah / Kyai Matori alm.
  3. Sayyid R. Sanusi alm.
  4. Sayyid R. Sugeng alm.
  5. Sayyid R. Dulkodir alm.
Sayyidah RA. Rughoyah / Makmun berputra :
1. Sayyidah RA. Rokhimah
2. Sayyidah RA. Kharisoh
3. Sayyidah RA. Khotmah
4. Sayyidah RA. Halimah
5. Sayyidah RA. Honimah
6. Sayyidah RA. Soimah
Sayyidah RA. Rofqoniyah berputra;
1. Kyai Sayyid R. Salim Al Mator Jatisari Kebumen
2. Sayyid R . Makmur
3. Sayyidah RA. Songidah
4. Kyai Sayyid R. Khumsosi Al Mator
5. Sayyid Muslim

Sayyidah RA. Honimah, berputra :
  1. Sayyid R. Muhammad Raffie Ananda / Tuti Khusniati Al Maki Kebumen
  2. Sayyidah RA. Aila Rezannia
Kyai Sayyid R. Abdurrohim ( makamnya berada di dusun Perangan, desa Keradenan, kecamatan Purwoharjo, kabupaten Banyuwangi ) berputra :
1. Kyai Sayyid R. Muhyi / Mukti alm. Perangan Purwoharjo Banyuwangi
2. Ra. Munawaroh ( Sumatera , tetapi sampai kini belum ada kabarnya )
3. KH. Sayyid R Sya'roni alm. Temurjo Purwoharjo Banyuwangi
4. Kyai Sayyid R. Abdal alm. Perangan Purwoharjo Banyuwangi
5. Kyai Sayyid R. Azhad alm. Perangan Purwoharjo Banyuwangi
6. Kyai Sayyid R. Hamdullah Buluagung Siliragung Banyuwangi
7. Kyai Sayyid Din alm.
Kyai Sayyid R. Muhyi / Mukti berputra :
1. Sayyid R. Muflih Perangan
2. Sayyid R. Muh. Miftah Perangan
3. Sayyid R. Mudatsir
4. Sayyidah RA. Muhsonah
5. Sayyidah RA. Mu'awah Seneporejo Siliragung
6. Sayyid R. Muzamil
7. Sayyidah RA. Mudzrikah
8. Kyai sayyid R. Munhamir Tamanagung Cluring Banyuwangi
9. Sayyidah Mustaqimah Sukorejo
KH. Sayyid R. Sya'roni Temurejo berputra :
1. Sayyidah RA. Mutmainah
2. Sayyid R. Sairu
3. Sayyid R. Khamami
4. Sayyid R. Jami'ah
5. Sayyid R. Jauhar
6. Sayyid R. Halimi
Kyai Sayyid R. Azhad alm. Perangan Purwoharjo Banyuwangi berputra :
1. Kyai Sayyid R. Mustofa Azhad Perangan
2. Kyai Sayyid R. Toha Azhad Merauke Irian Jaya
3. Kyai Sayyid R. Musta'in Azhad alm.
4. Kyai Sayyid R. M. Yasin Azhad Perangan
5. Sayyidah RA. Siti Aminah Azhad Ngadirejo Purwoharjo
6. Sayyidah RA. Siti Hanifah Azhad Perangan
7. Kyai Sayyid R. Halimu Shodiq Azhad Perangan
8. Kyai Sayyid R. Nur Hamid azhad Perangan

Kyai Sayyid R. Mustofa Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Ahmad Nasihudin Al Bahiri
2. Sayyidah RA. Latifah

Kyai Sayyid R. Thoha Azhad Merauke Irian Jaya berputra :
1. Sayyid R. Habiburrohim
2. Sayyidah RA. Nihayatus Zuhriya

Kyai Sayyid R. Yasin Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Wafi
2. Sayyidah RA. A' lin Bil Hija

Sayyidah RA. Siti Aminah Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Ahmad Luqman Hakim
2. Sayyid R. Burhanudin Al Maki
3. Sayyid R. Abdurrahman
4. Sayyid R. Abdurrahim

Sayyidah RA. Siti Hanifah Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Utsman

Kyai Sayyid R. Halimu Shodiq Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Wildan Hadziqi

Kyai Nur Hamid Azhad Perangan berputra :
1. Sayyid R. Alan ' Adzim Al Aufa


Kyai Sayyid R. Hamdullah bin Kyai Sayyid R. Abdurrohim berputra :
1. Kyai Sayyid R. Ali Masngud Buluagung
2. Sayyidah RA. Sa'adah
3. Sayyid R. Zuhri
4. Sayyid R. Tasip
Mbah Sayyid R. Dulkohir bin Kyai Sayyid Taslim berputra :
1. Sayyidah RA. Bandiyah berputra :
1. KH. Sayyid R. Hasyim
2. KH. Sayyid R. Nawawi
3. Sayyidah RA. Musfiroh

KH. Sayyid Hasyim berputra :
1. Sayyidah RA. Nurhalimah Sukorejo
2. Sayyidah RA. Bastiyah
3. Kyai Sayyid R. Ahmad Saifudin Pekalongan
4. Sayyidah Siti Romlah Sulawesi
5. Kyai Sayyid R. Mubarok Sukorejo ( Ponpes Roudlotul Hufadzil Quran )
6. Sayyid R. Imam Ghozali ( badal Kyai Sayyid R. Mubarok )

KH. Sayyid R. Nawawi Bantul berputra :
1. Kyai Sayyid R. Ngasim
2. Sayyid R. Yasin
3. Sayyidah RA. Istiqomah
4. Sayyid R. Abdul Muqti
5. Sayyidah RA. Barokah
6. Sayyidah RA. Binti Nafiyah
7. Sayyidah RA. Umi Azizah
8. Sayyid R. Agus Salim
9. Sayyidah RA. Wardah
10. Sayyidah RA. Ulfah
11. Sayyidah RA. Zahiyah

Sayyidah RA. Musfiroh berputra :
1. Kyai Sayyid R. Husnin
2. Sayyidah RA. Masyitoh
3. Kyai Sayyid R. Muhsin


Demikianlah sekelumit sejarah dan riwayat serta silsilah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, sebagai seorang Ulama dan Bangsawan pendiri desa Mlangi. Harapan penulis, semoga tulisan ini bisa menambah wawasan pembaca dan berguna bagi semua khususnya Para Putra Wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang tersebar di seluruh Nusantara. Apabila ada putra Wayah Mbah Nur Iman yang belum tercantum dalam silsilah yang penulis buat, silahkan mengirimkan silsilah nya ke email penulisravieananda@yahoo.com
atau datang ke kediaman penulis di
Jl. Garuda 13 Kebumen 54311 Jateng.Wassalamualaikum, wr.wb
salam hormat
Ravie Ananda

Wis Wayahe para putra wayah Mataram, para putra Tanah Dhawa RI padha wungu, pada rukun gotong royong memayu hayuning diri, keluarga, agama nungsa lan bangsa Tanah Dhawa RI, bekti lan gumati marang para leluhur kang nurunake,
bekti marang leluhur, ngerti sangkan nira, apese bisa ngudaneni paran nira...dhayane bisa hambantu nyirnakna reridhuning negara...Sura Dhira Jayaningrat kabeh lebur dening Pangastuti
Rahayu Tanah Dhawaku.. Rahayu Indonesiaku...


Silsilah Mataram Kertosuro ( Pustaka darah ) Silsilah Kyai Nur Iman / R. Sandeyo Mlangi
oleh Ravie Ananda

Sebelum mengupas tetentang Kyai Nur Iman Mlangi, penulis akan memaparkan secara singkat beberapa kejadian berdasarkan sejarah yang sangat erat kaitannya dengan riwayat Kyai Nur Iman Mlangi.
Pada tanggal 06 Juli 1704, Pangeran Puger yang mempunyai nama asli Raden Mas Drajat ( Beliau adalah putera dari Amangkurat I dengan isteri permaisuri keturunan Keluarga Kajoran ) diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau disingkat dengan Pakubuwana I. menurut catatan sejarah, Pangeran Puger juga pernah menyandang gelar sebagai Amangkurat II dikarenakan adanya pertentangan antara kakak pangeran Puger yang bernama Raden Mas Rahmat dengan Amangkurat I (Ayahanda mereka ), sehingga Pangeran Puger diangkat menjadi Putera Mahkota. Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677, Mas Rahmat menolak ditugasi ayahnya untuk mempertahankan kraton Mataram Kertosuro yang pada saat itu beribukota di Plered. Ia memilih mengungsi kearah Barat. Pangeran Puger kemudian tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti bahwa tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo. Dengan kejadian inilah kemudian Pangeran Puger menyandang gelar Amangkurat II. Namun , karena kekuatan pemberontak yang sangat besar akhirnya Pangeran Puger menyingkir ke Jenar. Di sana Beliau mendirikan kerajaan Purwakanda dan berpusat di Jenar. Ia mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke Kediri, Susuhunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu.
Amangkurat I meninggal di daerah Tegalwangi / Tegalarum. Raden Mas Rahmat menjadi Raja tanpa Tahta dengan Gelar Amangkurat II. Hal Ini disebabkan karena Plered sebagai ibukota Mataram saat itu diduduki dan dipertahankan oleh Pangeran Puger ( Amangkurat II ) yang lebih memilih mempertahankan Plered daripada mengungsi.
Amangkurat II Raden Mas Rahmat kemudian memilih membangun Kraton baru dengan nama Kartosuro pada bulan September 1680. Ia kemudian memanggil Susuhunan Ingalaga / Amagkurat II Pangeran Puger untuk bergabung dengannya, akan tetapi oleh Pangeran Puger ditolak, sehingga terjadilah perang saudara. Pada tanggasl 28 November 1681.

Susuhunan Ingalaga Amangkurat II Pangeran Puger menyerah kepada Jacob Couper, pemimpin pasukan VOC, yang membantu Amangkurat II Raden Mas Rahmat. Susuhunan Ingalaga kemudian kembali bergelar Pangeran Puger dan RM Rahmat bergelar Amangkurat II. Berdasar peristiwa inilah Kyai Nur Iman Mlangi kadang juga disebut sebagai Amangkurat III, akan tetapi bukan Amangkurat Jawa, karena Amangkurat Jawa yang ada dalam sejarah adalah RM. Suryo Putro ( putra Pengeran Puger/ Ayah Kyai Nur Iman Mlangi ).

Antara Amangkurat II RM. Rahmat dan Pangeran Puger memiliki perbedaan sikap yang sangat mencolok. Amangkurat II cenderung bersifat lemah hati dan tidak teguh pendirian, sedangkan Pangeran Puger bersifat sangat tegas. Maka gelar Amangkurat II pada saat itu seperti simbol belaka, karena yang lebih banyak menjalankan roda pemerintahan saat itu adalah Pangeran Puger yang memang ditunjuk sebagai tangan kanan Amangkurat II RM. Rahmat.

Pangeran Puger wafat pada tahun 1719.
Salah satu putera Pangeran Puger adalah RM. Suryo Putro. Dikisahkan ia meninggalkan kraton Mataram menuju ke arah timur / brang wetan, tepatnya sampai di Pondok Pesantren Gedangan Surabaya yang pada saat itu diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Hal ini dikarenakan adanya perebutan tahta dan perselisihan antar saudara di kalangan istana yang merupakan ulah adu domba Belanda. RM. Suryo Putro kemudian menjadi santri disana dengan berganti nama M. Ihsan. Pada suatu saat tepatnya dalam kegiatan rutin selapanan ( 35 hari sekali ) yang diadakan di ponpes tersebut, diadakan pengajian yang tanpa disangka dihadiri oleh Adipati Wironegoro ( ini adalah gelar anugrah yang diberikan Amangkurat II kepada Untung Suropati yang ikut membantuh dalam pembunuhan Pimpinan Kompeni yang bernama Kapten Tack), M. Ihsan menjadi ketua santri dan ikut menghidangkan hidangan untuk para tamu yang hadir. Saat mondar mandir di depan Adipati tersebut, ia diamati oleh sang Adipati. Karena merasa bahwa adipati pernah bertemu sebelumnya dan yakin bahwa santri tersebut adalah seorang bangsawan, maka setelah pengajian selesai, sang adipati tidak langsung pulang tetapi malah menyuruh Kyai A. Muhsin untuk memanggil Santri M. Ihsan tersebut. Setelah bertemu dan bercakap- cakap akhirnya diketahuilah bahwa M. Ihsan memang seorang bangsawan. M. Ihsan dan Adipati akhirnya berpesan agar Kyai merahasiakan keberadaan M. Ihsan dan menganggap ia sebagai santri biasa agar tidak sampai ketahuan oleh keluarga kerajaan. Sebelum pulang, Adipati Wironegoro berpesan agar M. Ihsan sudi berkunjung ke kadipaten dengan menyamar.
Akhirnya pada waktu yang telah ditentukan M Ihsan bersama Kyai datang ke kadipaten dengan alasan akan menyampaikan pesan kepada adipati tersebut agar tetap merahasiakan keberadaannya kepada kelurga Kraton. Setelah beberapa waktu berjalan dan melalui pertimbangan yang matang, akhirnya diambillah kesepakatan antara Adipati, kyai A. Muhsin dan M. Ihsan untuk menikahkan M Ihsan dengan Putri Adipati tersebut yang bernama RA. Retno Susilowati. Setelah menikah, putri tersebut diboyonglah ke ponpes Gedangan.

Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum ia pulang ke kraton, ia menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai A. Muhsin dan berpesan "Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak ia kan dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki - laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh Kyai bayi itu juga diberi nama M. Nur Iman.

Setibanya di kraton Mataram, RM. Suryo Putro langsung dinobatkan sebagai raja bergelar Amangkurat JAWA/ Amangkurat IV. Ia memerintah pada tahun 1719 - 1726. Sebelum Beliau meninggal, Beliau teringat pernah menitipkan istri pertamanya yang sedang hamil di ponpes Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin, dan mungkin anak dalam kandungan itu telah lahir dan telah dewasa. Akhirnya Beliau mengutus utusan untuk menjemput pulang anak tersebut.

Seiring waktu berlalu Nur Iman / RM Sandeyo telah tumbuh dewasa dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya, hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya M. nur Iman mau untuk pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan semua pesan nasihat dari Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama. Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan termasyhur.

Sesampainya di Kraton, M. Nur Iman langsung sungkem kepada Ayahhandanya ( Amangkurat Jawa / IV ) dan kemudian dikenalkan kepada semua kerabat kraton , juga adik - adiknya. Selain itu ia juga dianugerahi gelar KGHP. Kertosuro dan mendapat rumah kediaman di Sukowati.
Pada saat terjadinya perang saudara antara adik - adiknya yakni Pangeran Sambernyowo / RM. Said dan Pangeran Mangkubumi / RM. Sujono, juga dengan terjadinya huru - hara antara bangsa Tionghoa dengan kompeni Belanda yang terkenal dengan GEGER Pecinan, M. Nur Iman bersama sahabatnya memilih meninggalkan istana ke arah barat. Selain berdakwah, mereka juga menanamkan jiwa patriotisme melawan kompeni kepada para rakyat yang mereka temui. Perjalanan ke barat itu sampai pada daerah yang bernama Kulon Progo. kedatangannya diterima dengan senang hati oleh demang yang bernama Hadiwongso ( penguasa daerah Gegulu ), yang kemudian demang beserta keluarganya tersebut memeluk islam. Dengan sangat hormat demang tersebut memohon agar M. Nur Iman sudi menikah dengan putrinya. Akhirnya M. Nur Iman dinikahkan dengan putri nya yang bernama Mursalah, sedangkan kedua sahabatnya juga dinikahkan dengan putrinya yang lain yang bernama Maemunah ( menikah dengan Sanusi ) dan Romlah ( menikah dengan Tanmisani).

Perselisihan antar kedua saudara M.Nur Iman tersebut akhirnya berakhir dengan perjanjian di desa Giyanti pada tahun 1755, kemudian dikenal dengan perjanjian Giyanti yang isinya antara lain :
1. Kerajaan Mataram Kertosuro dibagi menjadi 2 bagian,
- dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono III, beribukota di Surokarto
- dari Prambanan ke barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwana I, beribukota di Yogyakarta.
2. Pangeran Sambernyowo / RM. Said diberi kedudukan sebagai adipati dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro yang kemudian diberi nama Puro Mangkunegara.
Setelah keadaan menjadi tenteram, raja - raja yang merupakan adik dari M. Nur Iman tersebut teringat akan kakaknya yang bernama RM. Sandeyo / M. Nur Iman, kemudian masing- masing raja mengutus prajuritnya untuk mencari keberadaan M. Nur Iman.

Sementara itu , setelah demang Hadiwongso ( mertua KGPH Sandeyo / M. Nur Iman ) wafat, M. Nur Iman sekeluarga pindah ke utara, di sebelah timur Kali Progo tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah RM. Sandeyo bertemu dengan Sultan Hamengku Buwana I ( yang tidak lain adalah adiknya ). Sultan Hamengku Buwana I kemudian meminta agar M. Nur Iman kembali ke kraton.
Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalaga Khalifatulloh Ngabdurrohman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan, yang kemudian lebih umum disebut Hamengku Buwana I, M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah oleh Hamengku Buwana I berupa tanah Perdikan / tanah bebas pajak . Tanah tersebut kemudian dijadikan desa dan dugunakan untuk pengembangan agama Islam. Didirikan pula Pondok pesantren untuk mulangi atau mengajar agama. Atas dasar kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi.

Zaman Pemerintahan Hamengku Buwana I menrupakan zaman keemasan Yogyakarta Hadiningrat. Setelah Hamengku Buwana I wafat, pemerintahan digantikan oleh putranya yan g bernama RM. Sundoro yang bergelar Hamengku Buwana II. Beliau sangat nasionalis dan rela berkorban untuk rakyatnya. Terlebih dalam pengembangan agama. hal ini terlihat dengan baiknya hubungan antara ulama dan umaro pada saat itu.

Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disaranklan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah :
di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
di sebelah Timur terletak di desa Babadan
di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning
Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.
Adapun pengurus masjid tersebut adalah putra - putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni :

Masjid Ploso Kuning di urus oleh Kyai Mursodo
Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari
Masjid Dongklelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri
Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton.

Sesuai dengan Amanah Hamengku Buwana II, maka Hamengku Buwana III melakukan perlawanan kepada penjajah. Sikap patroitisme dan nasionalisme tersebut beliau wariskan kepada putranya yang bernama Kanjeng Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dengan semangat tinggi dan keyakinan Jihad Fi sabillillah memerangi Belanda. Hal ini tercermin dari pakaian yang ia kenakan. Perang Diponegoro berlangsung pada tahun 1825 - 1830. Perang Diponegoro ini pun melibatkan anak cucu dari Mbah Kyai Nur Iman Mlangi. salahsatu putr a Kyai Nur Iman Mlangi yang gugur dalam perang ini bernama Kyai Salim. Beliau wafat di desa Ndimoyo. Selanjutnya beliau terkenal dengan sebutan Kyai Sahid.
Tipu daya licik Belanda akhirnya dapat mengakhiri perang Diponegoro. Pangeran Diponegoro tertangkap di Magelang dalam sabuah perundingan. Pengawal Pribadi Pangeran Diponegoro juga iku ditangkap saat itu. Ia bernama Kyai Hasan Besari yang merupakan putra dari Kyai Nur Iman Mlangi. Mereka kemudian diasingkan ke Menado.
Setelah Perang Diponegoro berakhir, kompeni berani menghadap Hamengku Buwana III. Kompeni membujuk dan memutar balikkan fakta kepada Sultan dengan mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya adalah pemberontak. hal ini membuat pengikut Pangeran Diponegoro yang masih tersisa termasuk para putra wayah Mbah Kyai Nur Iman Mlangi tidak berani kembali ke desanya karena takut ditangkap kompeni. Di mana tempat yang dianggap aman, disanalah mereka tinggal. Sehingga secara tidak langsung terjadilah penyebaran penduduk dan keturunan dari Kyai Nur Iman Mlangi yang tidak hanya tersebar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah saja , tetapi juga menyebar hingga ke Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan ada yang di luar Jawa. Sementara itu Mbah Kyai Nur Iman memilih tinggal di desa Mlangi sampai akhir hayatnya. Kyai Nur Iman Mlangi dimakamkan di belakang masjid. Makam tersebut kemudian terkenal denan sebutan makan Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk Kompeks tersebut bercirikan Kraton.
Seperti makam para Auliya' dan Ulama besar yang lain, makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi peziarah baik rombongan maupun perorangan yang berasal dari luar daerah, bahkan ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Putra mbah Kyai Nur Iman Mlangi ada yang diangkat sebagai Bupati Kedu, Beliau bernama Kyai Taptojani. Ada juga yang diangkat sebagai penghulu Kraton Yogyakarta. Beliau bernama Kyai Nawawi.

Sampai saat ini di desa Mlangi berdiri beberapa Ponpes yaitu :
1. PP. Al Miftah yang diasuh oleh Kyai Sirrudin dan diteruskan oleh KH. Munahar
2. PP As Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi dan diteruskan oleh KH. Suja'i Masduqi
3. PP. Al Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin dan diteruskan oleh Nyai hj. Zamrudin
4. PP. Al Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam
5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin dan diteruskan oleh Nyai Hj. Wafirudin
6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz
7. PP. As Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi
8. PP. An Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami'an
9. PP. Ar Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah
10. PP. Hidayatul Mubtadin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim

Adapun Ponpes yang ada diluar Yogyakarta dan masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi adalah :
1. PP. Watu Congol Muntilan yang diasuh oleh KH. Ahmad Abdul Haq
2. PP. Tegalrejo Magelang yang diasuh oleh KH. Abdurrahman Khudlori
3. PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Muntaha
4. PP. Bambu runcing Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Muhaiminan
5. PP. Secang Sempu Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali
6. PP. Nurul Iman Jambi yang diasuh oleh KH. Sohib dan Nyai Hj, Bahriyah

Karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi antara lain :
1. Kitab Taqwim ( Ringkasan Ilmu Nahwu )
2. Kitab Ilmu Sorof ( Ringkasan Ilmu Sorof )
Di museum Diponegoro Magelang juga terdapat peninggalan dari Pangeran Diponegoro berupa kitab yang selalu Beliau baca. Kitab tersebut adalah kitab karya Mbah Kyai Nur Iman Mlangi

Pada Tahun 1953 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat dan diberi nama Masjid Jami' Mlangi. Serah terima dari Hamengku Buwana IX kepada masyarakat diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain :
1. Kyai Sirudin
2. Kyai Masduki
3. M. Ngasim

Tradisi peninggalan Mbah Kyai Nur Iman Mlangi yang masih dilestarikan sampai saat ini antara lain :
1. Ziaroh / ngirim ahli kubur dengan membaca tahlil dan Al Quran, surat Al Ikhlas dan lain lain.
2. Membaca sholawat Tunjina ( untuk memohon keselamatan di dalam setiap hajatan )
3. Membaca sholawat Nariyah ( untuk memohon keselamatan pada hajatan seperti orang hamil dan lain lain )
4. Membaca kalimat Thoyyibah, tahlil Pitung Leksa ( Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad )
5. Manakib Abdulqodiran
6. Barjanji / Rodadan
7. Sholawatan / Kojan dan lain- lain.

Untuk mengenang dan menghormati jasa Mbah Kyai Nur Iman Mlangi, para Alim Ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan khaul yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro / Muharram malam tanggal 15.

Silsilah Mataram Kertosuro ( PUSTAKA DARAH ) dan Kyai Ageng Mlangi
Brawijaya terakhir;

R. Bondan Gejawan ( Ki Ageng tarub III );

Ki Ageng Getas Pandawa;

Ki Ageng Sela;

Ki Ageng Nis;

Kyai Ageng Pemanahan;
Panembahan Senopati;
Prabu Anyokrowati;
Prabu Sultan Agung Anyokrokusumo
Prabu Amangkurat I
Prabu Amangkurat II ( Pangeran Puger )
Prabu Amangkurat IV ( Amangkurat Jawa ) RM. Suryo Putro

RM Suryo Putro menurunkan;
1. RM. Sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi / KGP Angabehi Kertosuro )
2. KPA. Mangkunegoro I
3. KPA. Danupojo
4. RA. Pringgolojo
5. K. Susuhunan PB. II Surokarto
6. KPA. Pamot
7. KPA. Hadiwidjojo
8. KPA. Hadinegoro
9. K. Ratu Madunegoro
10. K. Sultan HB. I Ngajogjakarta
11. KP. Rogo Purboyo
12. KGPA. Panular
13. KGPA. Blitar
14. RA. Surodiningrat
15. KPA. Buminoto - Sultan Dandun Mertengsari - Adipati Setjoningrat - Panembahan Bintoro
16. KP. Singosari ( KP. Joko )
17. KGPA. Mataram
18. KGP. Martoseno
19. RA. Hendronoto
20. KGPA. Selarong
21. KGPA. Prang Uledono
22. KGPA. Buminoto

RM. sandeyo ( Kyai Nur Iman Mlangi ) mempungai 5 orang istri yaitu :
1. Garwa Gegulu, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Mursodo
2. RM. Nawawi
3. RM Syafangatun
4. RM. TAptojani - Kyai Kedu
5. RA. Cholifah / Kyai Mansyur
6. RA. Muhammad
7. RA. Nurfakih / Murfakiyyah
8. RA. Muso - Kyai Sragen
9. RM Chasan Bisri / Muhsin Besari
10. RA. Mursilah Ngabdul Karim

2. Garwa Surati, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA Muhammad Soleh
2. RM Salim
3. RA. Jaelani

3. Garwa Kitung, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Abutohir
2. RA. Mas Tumenggung

4. Garwa Bijanganten, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Nurjamin

5. Garwa Putri Campa, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning )

RM. Masyur Muchyidinirofingi ( Kyai Guru Loning ) mempunyai 5 istri yaitu :
1. Garwa Putri penghulu Demak, dari Istri ini beliau menurunkan ;
1. RM . Haji Ngabdurrochman

2. Garwa Alang - Alang Amba, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Fatimah / Kyai Sayyid Taslim
2. RA. Djamilah Sangid
3. RM. Haji Muhammad Nur
4. RM. Kyai Bustam

3. Garwa Putri Dipodirjo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Muhammad Zein
2. RM. Kyai Machmud
3. RA. Yai Istad
4. RM Haji Soleh

4. Garwa Putri Lurah Krojo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Chamid Tritis

5. Garwa Putri Kyai Soleh Qulhu Magelang,dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Haji Ngabdullah Mahlan
Sejarah Kyai Nuriman Mlangi 
 
Sunday, 12 December 2010
Sejarah (BPH Sandiyo) Mbah Kyai Nur Iman Dan Dusun Mlangi Senin, 05 April 2010 Asal usul atau cikal bakal pendirian dusun Mlangi dapat dikatakan dari legenda atau cerita rakyat setempat yang sudah dianggap kejadian sungguh-sungguh pernah terjadi. Cikal bakal dusun ini adalah dari Kyai Nur Iman, dan untuk mengenang beliau maka setiap tanggal 14 Sura (Muharram) diadakan acara “Khaul”. Image

Konon, menurut buku kecil Sejarah Kyai Nur Iman yagn selalu diterbitkan setiap ada acara “Khaul”, Kyai Nur Iman adalah seorang ulama, beliau adalah putra dari RP. Suryo Putro yang merupakan putra sulung dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I. pada saat terjadi pecahperang saudara tahun 1745 di kalangan Kraton Kartosuro dan kemudian muncul adanya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang menimbulkan dibaginya Kraton Kartosuro menjadi 2 yaitu Kasunanan Surakarto dan Kasultanan Ngayogyakarto. RM Sandiyo/Ihksan pada perang tersebut dapat meloloskan diri lalu pergi merantau ke arah barat dan berperan sebagai seorang ulama.

Setelah perang saudara selesai ada upaya untuk mencari RM. Sandiyo, setelah ditemukan diajak kembali ke kraton fan disuruh memilih di Yogyakarta atau di Surakarta. Dengan hati ikhlas beliau memilih untuk tinggal di Yogyakarta tetapi di luar kraton.
Setelah memperolehtempat seluas sejauh bunyi bedug maka Kyai Nur Iman bertempat tinggal di situ dan mendirikan tempat Pemulangan (pengajaran) bagi para santri. Pemulangan berarti tempat untuk member pelajaran atau “Mulangi” kemudian untuk lebih mudahnya diucapkan “Mlangi”.

Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman, tidak dapat di lepaskan dari awal mula keberadaan dusun mlangi.untuk itu kita perlu mengetahui sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram.

Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak diwarnai sengketa diantara para pangeran, terutama masalah yang menyangkut suksesi. Walaupun raja yang sedang memerintah telah mentiapkan penggantinya, namu setelah Raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung tidak mulus. Apalagi ditambah politik penjajah Belanda yang licik dan jahat, seringkali mengadu domba keluarga Raja termasuk para pangeran, yang akhirnya menjadi terpecah belah.

Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan / AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi VOC untuk mencampuri urusan kerajaan. Dengan maksud memecah belah, Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut tahta menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III. Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Paja dengan gelar Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu, sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur / Brang Wetan. Dalam perjalanannya paneran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya Pondok Pesantren Gedangan.

Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan. Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum. Tidak terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan pengajian lapanan, dating berkunjung seorang pejbat negara. Beliau adalah Adipati Pasuruhan yang bernama Adopati Wironegoro. Adipati Wironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro / Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Tok. Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan oleh Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah Muhsin merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan. Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan.

Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati guna menyajkan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau yakin sekali kalau santri itu adalah seorang bangsawan. Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang, tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil santrinya yang diduganya sebagai bangsawan tadi. Demi penghormatan terhadap pejabat negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya itu. Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun itupun menghadap Kanjeng Adipati Wirlonegoro. Setelah bersalam-salaman baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsan atau R.M. Suryo Putro saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal sebelumnya.

Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyogung itu meminta untuk merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap pangeran R.M.Suryo Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah seorang bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng Adipati memohon dengan hormat kepada pangeran untuk sudi berkunjung ke Kadipaten dengan menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran. Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton. Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati. Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran R.M. Suryo Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran R.M. Suryo Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno Susilowati. Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun diboyong ke Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu.

Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul perpecahan diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja mendapat kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada di Surabaya berguru di Pondok Pesantern Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin.

Pangeran berpesan bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai Abdullah Muhsin, agar mendidik anak tersebut sampai menguasai ilmu agama secara sempurna. Dan setelah dewasa sang anak akan dijemput untuk pulang ke Mataram Kartosuro. Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726.

Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut sudah tumbuh dewasa. 2. Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran. Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya, ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak tanduknya yang arif dan bijak selama menjadi santri.M. Nur Iman yang telah menguasai ilmu agama secara sempurna memang sangat didambakan oleh Kyai Abdullah Muhsin, karena amal ilmunya yang tinggi serta kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa setelah dewasa M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar yang masyhur.

Pada waktu utsan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah pamit dan minta do'a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani. Sang Kyai berpesan agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya sebagai seorang ulama, yaitu menyampaiakan amar ma'ruf nahi munkar, kapan dan dimana saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam serta mendirikan Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal. Dalam perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua temannya sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam.

Dari kampung ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang dilalui, M. Nur iman beserta kedua temanyya senantiasa berdakwah, bahkan berhasil mendirikan Pindok Pesantren. Sebur saja misalnya Pondo Pesantren yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun. Setelah sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya akhirnya sampai di kerajaan Mataram Kaeta suro dan langsung menghadap / sungkem pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat 1V. Pada pertemuan itu, selain bertemu dengan saudarasaudaranya, termasuk para pengeran, M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran Hangabei). Sel;ain itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di Sukowati. 3. Perjanjian Giyanti Kondisi Krato yang dilannda perpecahan akibat campur tangan Kompeni Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo / Kyai Nur Imasn prihatin. Hinnga akhirnya terjadilah perang saudara, diman dalam perang ini ada dua pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran Sambar Njowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono. Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan adanya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger Pecinan. Pereng yang sangat melelahkan dan menghabuskan biaya / dana terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai.

Perjanjian perdamaian tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa GIyanti, sehngga perjanjian itupun diberi nama Prjanjian Giyanti. Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain : 1.Kerajaan Mataram Kartosuro didagi menjadi dua : Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto. Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta , menjadi milik Pangeran Mangkubui yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I . 2.Pangeran Sambar Njowo / R. M. Said diberi kedudukasn sebagai Adipati denagn gelar Adipati Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegoro. Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman.

Kemudian masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman. 4.Asal-usul Nama Mlangi Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani. Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da'wah mengembangkan agama Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda. Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama Islam pun berkembang dengan pesat. Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi Wongso.

Demang Hadi Wongso adalah penguasa deda Gelugu, yang kemudian bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam. Tak lama berselang, setelah demang Hadi wonso memahami bahwa Kyai Nur Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar. Dia memohon dengan hormat agar Kyai Nur Iman bersedia menikah dengan putrinya yang bernama Mur Salah. Begitu juga dengan kedua pendereknya, Sanusi dinikahkan dengan Maemunah, sementara Tanmisani menikah dengan Romlah. SEtelah Demang Hadi Wongso meninggal dunia, Kyai Nur Iman sekeluarga pindah tempat ke utara, disebelah timur Kali Progo, yaitu desa Kerisan. Di desa yang masuk wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman bertemu dengan utusan Sultan Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta beliau untuk kembali ke Kraton. Pada tahun 1976, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Khalifatullah Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan.

Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Atas kebijaksanaan Raja, beliau memberikan hadiah berupa tanah perdikan kepada saudara tertuanya, yaitu BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman. Oleh Kyai Nur Iman, tanah perdikan tersebut dijadikan kampung / desa tempat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Tidak lama kemudian di tempat itu berdirilah rumah yang dipetrgunakan untuk memberi pelajaran (Mulangi) agama. Atau istilah sekarang disebut Pondok Pesantren. Dari asal kata MULANGI inilah kemudian menjadi nama kampung /dusun MLANGI. 5. Pembangunan Masjid Patok Negoro di Mlangi. Zaman pemerinthan Sru\i Sulatn Hamengku Buwono I merupakan masa kejayaan Yogyakarta Hadiningrat.

Dalam bahasa pewayangan, Ki Dalang biasa menyebutnya sebagai negara yang gemah ripah pasi wukir tata raharjo loh jinawi. Kehidupan agama dan seni budaya berkembang pesat. Setelah wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono I digantikan putranya yang pada waktu muda nernam R. M. Sundoro, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono II. Beliau sangat nasionalis, cinta kepada negaranya dan bersedia berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Lebih-lebih mengeb\nai perkembangan agama, sangat diperhatikan, hal ini telihat dari eratnya hubungan antara ulama dengan umaro. Di masa pemerintahannya, Sultan Hamengku Buwono II menerima arahan dari Kyai Nur Iman, yang masih ada hubungan keluarga, untuk membangun empat Masjid besar. Guna melengkapi dan mendampingi Masjid yang sudah berdiri lebih dulu, yaitu Masjid di Kampung Kauman, disamping Kraton.

Masjid yang disarankan oleh Kyai Nur Iman untuk dibangun terletak di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari / Patok Negoro : Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi Di sebelah Timur terletk di desa Babadan Di sebelah Utara terletek di desa Ploso Kuning Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan Adapun yang mengurusi Masjid-Masjid Tersebut adalah putra-putra dari Kyai Nur Iman : Masjid Patok Negoro Ploso Kuning diurus oleh Kyai Mursodo Masjid Patok Negoro Babadan diurus oleh Kyai Ageng Karang Besari Masjid Patok Negoro Dongkelan dirus oleh Kyai Hasan Besari Masjid Patok Negoro Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman. Besarnya kepedulian Sri Sultan Hamenku Buwono II untuk mendirikan masjid didesa-desa, membuat Masjid-Masjid tersebut dikenal sebagai masjid Kagungan Ndalem atau Masjid Kasultanan, dikarenakan kepengurusan / Takmir Masjid termasuk abdi Ndalem Kraton.

Pada tahun 1953, oleh Ngarso Ndalem Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat yang diberi nama Masjid Jami' Mlangi.Serah terima Masjid diwakili oleh alim ilama dan tokoh masyarakat, antara lain ; 1.Kyai Siruddin 2.Kyai Masduki 3.M. Ngasim Sekilas Perang Diponegoro Sesuai dengan amanat Ayahandanya, Yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh, Sultan Hamengku Buwono III melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sikap nasionalis dan patriotis juga beliau wariskan kepada putranya yaitu Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasionalis legendaris yang populer hingga saat ini. Dengan jiwa keberanian menentang kaum penjajah, ditambah adanya keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perang dalam rangka membela kebenaran dan keadilan demi tegaknya agama Allah adalah Jihad Fii Sabiilillah.

Keyakinan ini tampak dari pakaian yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro yang berserban dan berjubah, sebagaimana pakaian seorang ulama / auliya'. Perang Diponegoro sendiri terjadi pada tahun 1825-1830. Perang Diponegoro inipun ikut melibatkan anak cucu Mbah Kyai Nur Iman. Hal ini sesuai dengan semangat patriotisme dan amanat Beliau kepada anak cucunya untuk selalu menentang kaum penjajah, menegakkan kebenaran dan keadilan serta untuk selalu berjihad dijalan Allah demi tegaknya agama Islam. Bahkan dalam peperangan, salah seorang putra Mbah KYai Nur Iman yang bernama Kyai Salim, gugur di desa Ndimoyo. Kyai Salim yang gugur inipun dikenal dengan nama Kyai Syahid, karena dalam Islam seorang yang berjihad apabila gugur disebut mati Syahid. Belanda mengakhiri Perang Diponegoro dengan cara yang licik. Dengan tipu muslihat Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang.

Pada waktu Kanjeng Pangeran Diponegoro ditangkap, ada seorang prajurit yang menjadi pengawal pribadi Pangeran Diponegoro yang juga ikut ditangkap, yaitu Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari ini merupakan salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman. Mereka ditangkap dan diasingkan ke Manado. Meninggalnya Mbah Kyai Nur Iman Setelah Perang Diponegoro berakhir, Kompeni Belanda berani menghadap Sultan Hamengku Buwono III. Mereka membujuk dan memutarbalikkan fakta, bahwa Pangeran Diponegoro dan seluruh pengikutnya adalah pemberontak. Hal ini membuat prajurit dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang masih tersisa, termasuk putro wayah Mbah KYai Nur Iman tidak berani kembali ke desa asalnya, karena takut ditangkap oleh Kompeni Belanda. Dimana para pengikut dan prajurit itu mendapat tempat yang aman, disitulah mereka bermukim. Sehingga secara tidak langsung terjdi penyebaran penduduk dan agama. Kejadian ini juga menjadikan keturunan Mbah Kyai Nur Iman tersebar tidak hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tapi juga yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur bahkan ada yang diluar jawa. Sementara itu, Mbah Kyai Nur Iman sendiri memilih bertempat tinggal di dusun Mlangi hingga akhir hayatnya, tepatnya disebelah barat Masjid Mlangi. Setelah meninggal, Mbah Kyai Nur Iman dimakamkan di belakang Masjid. Makam tersehbut dinamakan Makam Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehinnga gapura masuk kompleks Pesareyanpun berciri khas Kraton.

Dan sebagaiman makam para Auliya' dan Ulama Besar yang lain, Makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi tamu-tamu yang berziarah dari luar daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa. Para Peziarah ada yang perorangan maupun berombongan. Mbah Kyai Nur Iman Meninggalkan 14 Putra dan 4 Istri : Dari istri I, Beliau meninggalkan 9 orang putra dan putri, yaitu: 1. Kyai Mursodo 4. R.M.Taftoyani 7. Kyai Muhsin Besari 2. Kyai Nawawi 5. Kyai Mansur 8. Kyai Musa 3. Nyai Safangatun 6. Nyai Murfakiyyah 9. Nyai Karang Mas Dari istri II, Beliau meninggalkan 3 orang putra dan putri, yaitu: 1. Nyai Soleh 2. Kyai Salim 3. Nyai Jaelani Dari istri III, Beliau meninggalkan 2 orang putri, yaitu: 1.Nyai Abu Tohir 2.Nyai Mas Tumenggung Dari istri IV, Beliau meninggalkan 1 orang putra, yaitu: 1.Kyai Rofingi (R.M. Mansjur Muhyidin-Kyai Giru Loning) Diantara putra-putri Mbah Kyai Nur Iman ada yang diangkat sebagai Bupati Sempon / Kedu, yaitu Kyai Taftoyani. Ada pula yang sebagai Penghulu Kraton, yaitu Kyai Nawawi. Pondok Pesantren Mlangi Hingga saat ini, seiring dengan majunya zaman dan berkembangnya dunia pendidikan, di dusun Mlangi telah tumbuh beberapa Pondok Pesantren, diantaranya : 1.PP. Al-Miftah yang diasuh oleh Kyai Siruddin diteruskan oleh KH. Munahar. 2.PP. As-Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi diteruskan oleh KH. Suja'I Masduqi. 3.PP. Al-Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin diteruskan oleh Ny. Hj. Zamrudin. 4.PP. Al-Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam. 5.PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin diteruskan oleh Ny. Hj. Wafirudin. 6.PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz. 7.PP. As-Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi. 8.PP. An-Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami'an. 9.PP. Ar-Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah. 10.PP. Hidayatul Mubtadiin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim. Adapun Pondok Pesantren yang ada diluar daerah Yogyakarta yang ternyata masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman, antara lain: 1.PP. Watu Congol, Muntilan yang diasuh oleh KH. Ahmad Abdul Haq. 2.PP.

Tegalrejo, Magelang yang diasuh oleh KH. Abdurrahman Khudlori. 3.PP. Al-Asy'ariyyah, Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Muntaha. 4.PP. An-Nawawi, Berjan Purworejo yang diasuh oleh KH. Khalwani. 5.PP. Bambu Runcing, Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Muhaiminan. 6.PP. Secang, Sempu, Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali. 7.PP. Nurul Iman, Jambi yang diasuh oleh KH.Sohib dan Ny. Hj. Bahriyah. Selain itu, Mbah Kyai Nur Iman juga menulis 2 buah karya ilmiah, yaitu : 1.Kitab Taqwim (Ringkasan Ilmu Nahwu) 2.Kitab Ilmu Sorof (Ringkasan Ilmu Sorof) Tradisi agamis dan amalan yang masih dilestarikan hingga saat ini, antara lain : 1.Ziaroh / ngirim Ahli Qubur dengan cara membaca tahlil dan Al- Qur'an Surat Al-Ikhlas, dan lain-lain. 2.Membaca Sholawat Tunjina (untuk memohon keselamatan di dalam hajatan-hajatan). 3.Membaca sholawat Nariyah (untuk selamatan orang hajat seperti orang hamil, dan lain-lain). 4.Membaca Kalimah Thoyyibah, Tahlil Pitung Lekso (Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad). 5.Manaqiban / Abdul Qodiran. 6.Dalam bentuk kesenian : Ngelik Barzanji / Rodatan Sholawatan / Kojan dan lain-lain. Untuk menghormati dan mengenang sejarah perjuangan Mbah Kyai Nur Iman, para alim ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan Khaul, yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro malam tanggal 15. Adapun pelaksana penyelenggaraan acara Khaul Mbah Kyai Nur Iman adalah KH. Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah dengan didukung sepenuhnya oleh masyarakat Mlangi. Demikianlah sejarah singkat Mbah Kyai Nur Iman atau BPH. Sandiyo, seorang ulama / Auliya', sekaligus juga seorang bangsawan dan cikal bakal pendiri dusun Mlangi.

Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja, setidaknya sebagai dokumentasi serta sumbangan wawasan dan khazanah pengetahuan, khususnya bagi yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah dan tokoh Islam di Pualu Jawa. Namun demikian, mengingat keterbatasan sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan, baik yang tertulis maupun berupa riwayat-riwayat dan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan atau hal-hal penting yang tidak tercantum dalam penulisan sejarah singkat ini. Untuk itu kami senantiasa mengharapkan sumbang saran dan masukan dari siapa saja yang tentunya akan sangat berguna bagi kelengkapan sejarah milik kita bersama ini.

Mbah Kyai Nur Iman Meninggalkan 14 Putra dan 4 Istri

a. Dari istri I, beliau meninggalkan 9 orang putra:dan putri, yaitu :
1. R.M. Kyai Mursodo
2. R.M. Kyai Nawawi
3. R.A. Nyai Safangatun
4. R.M. Kyai Taftoyani
5. R.A. Nyai Kholifah
6. R.A. Nyai Mukhamad
7. R.A. Nyai Murfakiyah
8. R.A. Nyai Musa
9. R.M. Kyai Hasan Basori

b. Dari istri II, beliau meninggalkan 3 orang putra dan putri, yaitu :
1. R.A. Nyai Soleh
2. Nyai Mursilah Adbullah Karim dusun Karang Mas
3. R.M. Kyai M Salim

c. Dari istri III, beliau meninggalkan 3 putra dan putri, yaitu :
1. R.A. Nyai Jaelani
2. R.A. Nyai Abutohir
3. R.A. Nyai Nur Yamin

d. Dari istri IV, beliau meninggalkan 1 orang putra, yaitu :
1. R.M. Kyai Rofingi (R.M Kyai Mansjur Muchjidin - Kyai Guru Loning).
Diantara putra-putri Mbah Kyai Nur Iman ada yang di angkat sebagai Bupati di Sempon/Kedu yaitu Kyai Taftoyani. Ada pula yang sebagai penghulu Kraton yaitu Kyai Nawawi.

SILSILAH KYAI NUR IMAN / BPH SANDIYO
PRABU BRAWIJAYA KE-5
Kyai Ageng Bundan Kejawan
Kyai Ageng Ketas Pandawa
Kyai Ageng Selo Pandawa
Kyai Ageng Pemanahan
Panembahan Senopati Ing Ngalogo
Susuhan Adi Prabu Hanyokrowati
Sultan Agung Hanyokrokusumo
Prabu Amangkurat I
⇙⇘
Pangeran Puger / Pakubuwono I
Prabu Amangkurat II
Prabu Amangkurat III
Prabu Amangkurat IV/Jawi
BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman
⇒ Pakubuwono II
⇒ P. Mangkubumi / Hamengku Buwono I
⇒ P. Mangkunegoro