Selasa, 12 Januari 2016

babad mlangi yogyakarta

Babad Mlangi 

Menelusuri jejak sejarah Mbah Kyai Nur Iman (BPH Sandiyo) Mlangi, tidak dapat di lepaskan dari awal mula keberadaan dusun Mlangi. untuk itu kita perlu mengetahui sejarah berdirinya Dusun / Kampung Mlangi, ini berarti kita pun sekilas perlu menengok kembali Sejarah Kerajaan Mataram / Babad Tanah Mataram. 
Pada waktu itu di Kerajaan Mataram yang beribukotakan Kartosuro, banyak diwarnai sengketa diantara para Pangeran, terutama masalah yang menyangkut suksesi. Walaupun Raja yang sedang memerintah telah menyiapkan penggantinya, namun setelah Raja mangkat, pergantian tahta sering berlangsung tidak mulus. Apalagi ditambah politik penjajah Belanda yang licik dan jahat, seringkali mengadu domba keluarga Raja termasuk para Pangeran, yang akhirnya menjadi terpecah belah.
Pertentangan di dalam Keluarga Kerajaan Mataram setelah sunan / Susuhan / AMangkurat II surut / meninggal pada tahun 1703, memberi peluang bagi VOC untuk mencampuri urusan Kerajaan. Dengan maksud memecah belah, Belanda membantu Pangeran Puger, adik Amangkurat II untuk merebut Tahta menghadapi Sunan Mas, Putra Amangkurat II yang menjadi Amangkurat III.
Kompeni Belanda mengangkat pangeran Puger menjadi Raja dengan gelar Susuhunan Paku Buwono 1. Pada waktu itulah seorang Pangeran yang bernama R.M. Suryo Putro yang merasa sangat sakit hati atas peristiwa itu, sehingga memutuskan untuk pergi keluar Kraton menuju ke arah Timur / Brang Wetan.
Dalam perjalanannya Pangeran Suryo Putro / R. M. Suryo Putro sampai di Surabaya. Di sana ada satu kampung yang bernama kampung Gedangan. Secara kebetulan di kampung tersebut ada sebuah Pondok Pesantren namanya Pondok Pesantren Gedangan. Pengasuh Pondok Pesantren Gedangan saat itu adalah Kyai Abdullah Muhsin. Singkat cerita, R. M. Suryo Putro akhirnya menjadi santri di Pondok Pesantren tersebut dan berganti nama M. Ihsan.
Salah satu kegiatan rutin yang diadakan di pondok pesantren Gedangan setiap 35 hari sekali (selapan dina) adalah pengajian umum. Tidak terduga, suatu saat, ketika Kyai Abdullah Muhsin mengadakan pengajian lapanan, datang berkunjung seorang pejabat negara. Beliau adalah Adipati Pasuruhan yang bernama Adipati Wironegoro (Untung Suropati). Adipati Wironegoro meripakan gelar yang diberikan Raja Mataram Kartosuro / Amangkurat II kepada Untung Suropati. Gelar tersebut diberikan sesuai dangan jabatannya sebagai Adipati Pasuruhan, berkat keberhasilan Untung Suropati membunuh pimpinan Kompeni Belanda yang bernama Kapten Tack.
Kehadiran seorang pejabat negara diacara pengajian yang diadakan oleh Pondok Pesantren yang diasuhnya, tentu saja membuat Kyai Abdullah Muhsin merasa senang dan menyambutnya penuh kehormatan. 
Kebetulan yang menyajikan hidangan untuk para tamu tersebut adalah santri–santri pondok, termasuk M. Ihsan sebagai pimpinan (Lurah Pondok). Pada waktu Ihsan mondar-mandir di muka tempat duduk Kanjeng Adipati guna menyajikan hidangan, ternyata Kanjeng Adipati mengamatinya dengan seksama. Hal ini karena beliau merasa sudah pernah bertamu, dan beliau yakin sekali kalau santri itu adalah seorang Bangsawan.
Setelah pengajian tersebut selesai, Kanjeng Adipati tidak segera pulang, tetapi justru meminta kepada Kyai Abdullah Muhsin supaya memanggil santrinya yang diduganya sebagai Bangsawan tadi. Demi penghormatan terhadap Pejabat Negara, maka Kyai Abdullah Muhsin, segera memanggil santrinya yang bernama Ihsan. Dalam benak sang Kyai bertanya-tanya apakah sebabnya Kanjeng Adipati ingin sekali bertamu dengan santrinya itu.
Tidak berapa lama kemudaian, M. Ihsan yang berwajah tampan dan santun itupun menghadap Kanjeng Adipati Wironegoro. Setelah bersalam-salaman baik Kanjeng Adipati Wironegoro maupun M.Ichsan atau R.M. Suryo Putro saling meyakini dan tidak lupa bahwa mereka sudah saling mengenal sebelumnya.
Kepada Kyai Abdullah Muhsin, kedua Priyagung itu meminta untuk merahasiakan pertemuan tersebut dan tetap menganggap Pangeran Suryo Putro sebagai santri biasa, jangan sampai ketahuan kalau beliau adalah seorang Bangsawan. Sambil pamitan pulang Kanjeng Adipati memohon dengan hormat kepada Pangeran untuk sudi berkunjung ke Kadipaten dengan menyamar, yang segera disanggupi oleh Pangeran.
Pada suatu saat, Pangeran berkesempatan berkunjung ke Kadipaten Pasuruan untuk menyampaikan pesan yang isinya jangan sampai keberadaan beliau di Pondok Pesantern Gedangan diketahui oleh keluarga / kerabat Kraton. Selama berkunjung di Kadipaten Pasuruhan, Pangeran dijamu secara baik dan dikenalkan dengan semua keluarga Adipati Wironegoro termasuk putrinya yang bernama R.A.Retno Susilowati.
Dari waktu berganti waktu, dengan pertimbangan yang sangat matang antara Kanjeng Adipati Wironegoro, Kyai Abdullah Muhsin dan Pangeran Suryo Putro atau M.Ihsan, diambillah keputusan untuk menikahkan Pangeran Suryo Putro dengan putri Kanjeng Adipati yaitu R.A. Retno Susilowati. Kemudian setelah pernikahan tersebut, R.A. Susilowati pun diboyong ke Pondok Pesantren Gedangan untuk sementara waktu.
Sementara itu, selama ditinggal pergi oleh R.M. Suryo Putro, keadaan Kerajaan Mataram semakin tidak menentu. Hal ini dipicu oleh akal licik Belanda yang mengangkat / mengganti Raja dengan maksud menimbulkan konflik internal diantara para Pangeran sehingga timbul perpecahan diantara mereka Pada saat masa keprihatinan tersebut, Raja mendapat kabar dari telik sandi bahwa Pangeran Suryo Putro berada di Surabaya berguru di Pondok Pesantren Gedangan yang diasuh oleh Kyai Abdullah Muhsin.
Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk menjemput sang Pangeran kembali ke Mataram Kartosuro. Karena hal itu merupakan perintah Raja, Sang Pangeran tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu istri Pangeran yang sedang hamil dititipkan kepada Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran berpesan bahwa apabila istrinya melahirkan, jika yang terlahir adalah bayi laki-laki diberi nama R.M. Sandiyo, namun bila perempuan, pemberian namanya diserahkan Kyai Abdullah Muhsin. Pangeran juga meminta pada Kyai Abdullah Muhsin, agar mendidik anak tersebut sampai menguasai ilmu agama secara sempurna. Dan setelah dewasa sang anak akan dijemput untuk pulang ke Mataram Kartosuro.
Setibanya di Mataram Kartosuro,sang Pangeran langsung dinobatkan menjadi raja dengan gelar Susuhunan Amangkurat Jawi / Amangkurat IV. Kanjeng Susuhunan Amangkurat IV memerintah kurang lebih pada tahun 1719-1726. Sebelum meningal, beliau teringat pernah menitipkan istri yang bernama R.A. Retno Susilowati yang ketika ditinggal sedang hamil. Mengingat hal itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, diperkirakan bayi tersebut sudah tumbuh dewasa.
Perjalanan R.M.Sandiyo (M.Nur Iman) ke Mataram Kartosuro
Sang Raja kemudian memberi perintah kepada punggawa Kraton untuk menjemput putranya dan mengajaknya kembali ke Kraton Kartosuro agar dapat berkumpul dengan keluarga / kerabatnya, termasuk para Pangeran.
Adapun putra Raja yang lahir di Pondok Pesantren Gedangan tersebut telah tumbuh menjadi Priya yang gagah dan tampan. Sesuai amanat Ayahandanya, ia diberi nama R.M. Sandiyo. Selain itu, Kyai Abdullah Muhsin juga memberinya nama yaitu M. Nur Iman. Nama ini sesuai dengan tindak tanduknya yang arif dan bijak selama menjadi santri.M. Nur Iman yang telah menguasai ilmu agama secara sempurna memang sangat didambakan oleh Kyai Abdullah Muhsin, karena amal ilmunya yang tinggi serta kesolehannya. Sang Kyai pun yakin bahwa setelah dewasa M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar yang masyhur.
Pada waktu utusan sang Raja tiba untuk menjemput dirinya, R.M. Sandiyo atau Nur Iman bersedia pulang ke Mataram Kartosuro asalkan keberangkatannya tidak bersama-sama dengan utusan sang Raja. Setelah pamit dan minta do’a restu pada sang guru, R.M. Sandiyo atau M. Nur Iman berangkat menuju Mataram Kartosuro dengan ditemani 2 orang sahabat yang dikasihi dan dicintainya yaitu Sanusi dan Tanmisani. Sang Kyai berpesan agar M. Nur Iman tidak melupakan visi dan misinya sebagai seorang ulama, yaitu menyampaiakan amar ma’ruf nahi munkar, kapan dan dimana saja. Juga untuk berjuang menegakkan kebenaran Islam serta mendirikan Pondok Pesantren dimana ia bertempat tinggal.
Dalam perjalanannya menuju kearah barat, M. Nur Iman beserta kedua temannya sekaligus melakukan dakwah demi berkembangnya agama Islam. Dari kampung ke kampung, dari desa ke desa hingga di setiap kota yang dilalui, M. Nur iman beserta kedua temanya senantiasa berdakwah, bahkan berhasil mendirikan Pondok Pesantren. Sebut saja misalnya Pondo Pesantren yang ada di sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Sehingga perjalanan ini memakan waktu hingga beberapa tahun.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan, M. Nur Iman dan kedua temannya akhirnya sampai di kerajaan Mataram Kartosuro dan langsung menghadap / sungkem pada Ayahandanya, Kanjeng Susuhan Amangkurat IV. Pada pertemuan itu, selain bertemu dengan saudara-saudaranya, termasuk para Pangeran, M. Nur Iman mendapat gelar, B. P. H. (Bendoro Pangeran Hangabei). Selain itu M. Nur Iman juga mendapat rumah kediamannya di Sukowati.
Perjanjian Giyanti
Kondisi Kraton yang dilannda perpecahan akibat campur tangan Kompeni Belanda, yang membantu susuhunan pakubuwono 111, membuat R. M. Sandiyo / Kyai Nur Imasn prihatin. Hingga akhirnya terjadilah perang saudara, dimana dalam perang ini ada dua Pangeran yang bersekutu, yaitu Pangeran Samber Nyowo / R. M. said dengan Pangeran Mangkubumi / R. M. Sujono. 
Keadaan seoerti ini masih diperkeruh lagi dengan adanya huru-hara antara bangsa Tionghoa dengan Kompeni Belanda yang sering disebut Geger Pecinan. Perang yang sangat melelahkan dan menghabiskan biaya / dana terlalu banyak tesebut akhirnya bisa diakhiri, dengan adanya perjanjian perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Perjanjian perdamaian tersebut terjadi kurang lebih pada tahun 1755 di desa Giyanti, sehngga perjanjian itupun diberi nama Perjanjian Giyanti. (Babad Palihan Nagari)
Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain :
1. Kerajaan Mataram  dibagi menjadi dua :
v Dari Prambanan ke timur menjadi milik Susuhunan Pakubuwono 111, beribukota di Surokarto.
v Dari Prambanan ke barat dengan ibukota Yogyakarta, menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamenku Buwono I.
2. Pangeran Samber Nyowo / R. M. Said diberi kedudukan sebagai Adipati dengan gelar KGPAA Mangkunegoro I dan diperbolehkan mendirikan sebuah Puro. Puro tersebut diberi nama Puro Mangkunegaran.
Adanya Perjanjian Giyanti ini ternyata dapat meredakan ketegangan yang terjadi antara Mataram Surokarto dengan Mataram Yogyakarta ditambah Puro Mangkunegoro, sehingga suasana pun menjadi tenteram. Dalam keadaan tenteram inilah, kedua Raja menjadi teringat bahwa mereka masih mempunyai saudara yang bernama BPH Sandiyo / Kyai Nur Iman. Kemudian masing- masing Raja memerintahkan prajuritnya untuk mencari tahu keberadaan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman.
Asal-usul Nama Mlangi
Sementara itu, BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman, pada waktu perang saudara berkecamuk justru memutuskan untuk pergi keluar benteng Kraton beserta kedua teman akrabnya, Sanusi dan Tanmisani.
Dengan semangat tinggi dan kemauan keras, Kyai Nur Iman dan kedua temannya melakukan perjalanan, melaksanakan da’wah mengembangkan agama Islam.Mereka juga menanamkan jiwa patriotisme guna menimbulkan rasa benci masyarakat terhadap kaum penjajah yaitu Kompeni Belanda. Perjuangan dan seruan BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman bersama kedua temannya ternyata disambut rakyat dengan sepenuh hati, sehingga agama Islam pun berkembang dengan pesat.
Dari arah Kartosuro ke Barat, sampailah perjalanan Kyai Nur Iman dan kedua temannya itu di suatu daerah di Kulon Progo. Kedatangannya diterima dengan senang hati oleh seorang Demang yang bernama Hadi Wongso. Demang Hadi Wongso adalah penguasa desa Gelugu, yang kemudian bersama keluarganya bersedia memeluk agama Islam.
Tak lama berselang, setelah demang Hadi wongso memahami bahwa Kyai Nur Iman nyata-nyata adalah Ulama Besar. Dia memohon dengan hormat agar Kyai Nur Iman bersedia menikah dengan putrinya yang bernama MurSalah. Begitu juga dengan kedua pendereknya, Sanusi dinikahkan dengan Maemunah, sementara Tanmisani menikah dengan Romlah. Setelah Demang Hadi Wongso meninggal dunia, Kyai Nur Iman sekeluarga pindah tempat ke utara, disebelah timur Kali Progo, yaitu desa Kerisan. Di desa yang masuk wilayah Yogyakarta inilah Kyai Nur Iman bertemu dengan utusan Sultan Hamenku Buwono 1, yang kemudian meminta beliau untuk kembali ke Kraton.
Pada tahun 1756, Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kaneng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Khalifatullah Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo ingkang Jumeneng Sepisan. Orang umum lebih mengenal dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Atas kebijaksanaan Raja, beliau memberikan hadiah berupa tanah perdikan kepada saudara tertuanya, yaitu BPH. Sandiyo / Kyai Nur Iman. Oleh Kyai Nur Iman, tanah perdikan tersebut dijadikan kampung / desa tempat pendidikan dan pengembangan agama Islam. Tidak lama kemudian di tempat itu berdirilah rumah yang dipergunakan untuk memberi pelajaran (Mulangi) agama. Atau istilah sekarang disebut Pondok Pesantren. Dari asal kata MULANGI inilah kemudian menjadi nam kampung /dusun MLANGI.
Pembangunan Masjid Patok Negoro di Mlangi.
Zaman pemerintahan  Kanjeng Sultan Hamengku Buwono I merupakan masa kejayaan Yogyakarta Hadiningrat. Dalam bahasa pewayangan, Ki Dalang biasa menyebutnya sebagai Negara yang gemah ripah pasi wukir tata raharjo loh jinawi. Kehidupan agama dan seni budaya berkembang pesat. Setelah wafat, Sri Sultan Hamengku Buwono I digantikan putranya yang pada waktu muda Bernama  R. M. Sundoro, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono II. Beliau sangat nasionalis, cinta kepada negaranya dan bersedia berkorban bagi kepentingan rakyatnya. Lebih- lebih mengenai perkembangan agama, sangat diperhatikan, hal ini telihat dari eratnya hubungan antara ulama dengan umaro.
Di masa pemerintahannya, Sultan Hamengku Buwono II menerima arahan dari Kyai Nur Iman, yang masih ada hubungan keluarga, untuk membangun empat Masjid besar. Guna melengkapi dan mendampingi Masjid yang sudah berdiri lebih dulu, yaitu Masjid di Kampung Kauman, disamping Kraton. Masjid yang disarankan oleh Kyai Nur Iman untuk dibangun terletak di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari / Patok Negoro :
v Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
v Di sebelah Timur terletk di desa Babadan
v Di sebelah Utara terletek di desa Ploso Kuning
v Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan
Adapun yang mengurusi Masjid-Masjid Tersebut adalah putra-putra dari Kyai Nur Iman :
v Masjid Patok Negoro Ploso Kuning diurus oleh Kyai Mursodo
v Masjid Patok Negoro Babadan diurus oleh Kyai Ageng Karang Besari
v Masjid Patok Negoro Dongkelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
v Masjid Patok Negoro Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman.
Besarnya kepedulian Sri Sultan Hamenku Buwono II untuk mendirikan masjid didesa-desa, membuat Masjid-Masjid tersebut dikenal sebagai masjid Kagungan Ndalem atau Masjid Kasultanan, dikarenakan kepengurusan / Takmir Masjid termasuk Abdi Dalem Kraton.
Pada tahun 1953, oleh Ngarso Ndalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono 9 Masjid Mlangi diserahkan kepada rakyat yang diberi nama Masjid Jami’ Mlangi. Serah terima Masjid diwakili oleh alim ulama dan tokoh masyarakat, antara lain ;
1. Kyai Siruddin
2. Kyai Masduki
3. M. Ngasim
Sekilas Perang Diponegoro
Sesuai dengan amanat Ayahandanya, Yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh, Sultan Hamengku Buwono III melakukan perlawanan terhadap penjajah. Sikap nasionalis dan patriotis juga beliau wariskan kepada putranya yang tertua yaitu Kanjeng Pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasionalis legendaris yang populer hingga saat ini. 
Dengan jiwa keberanian menentang kaum penjajah, ditambah adanya keyakinan bahwa dalam ajaran Islam, perang dalam rangka membela kebenaran dan keadilan demi tegaknya agama Allah adalah Jihad Fii Sabiilillah. Keyakinan ini tampak dari pakaian yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro yang bersurban dan berjubah, sebagaimana pakaian seorang ulama / auliya’. Perang Diponegoro sendiri terjadi pada tahun 1825-1830.
Perang Diponegoro inipun ikut melibatkan anak cucu Mbah Kyai Nur Iman. Hal ini sesuai dengan semangat patriotisme dan amanat Beliau kepada anak cucunya untuk selalu menentang kaum penjajah, menegakkan kebenaran dan keadilan serta untuk selalu berjihad dijalan Allah demi tegaknya agama Islam. Bahkan dalam peperangan, salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman yang bernama Kyai Salim, gugur di desa Ndimoyo. Kyai Salim yang gugur inipun dikenal dengan nama Kyai Syahid, karena dalam Islam seorang yang berjihad apabila gugur disebut mati Syahid.
Belanda mengakhiri Perang Diponegoro dengan cara yang licik. Dengan tipu muslihat Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang. Pada waktu Kanjeng Pangeran Diponegoro ditangkap, ada seorang prajurit yang menjadi pengawal pribadi Pangeran Diponegoro yang juga ikut ditangkap, yaitu Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari ini merupakan salah seorang putra Mbah Kyai Nur Iman. Mereka ditangkap dan diasingkan ke Manado.
Meninggalnya Mbah Kyai Nur Iman
Setelah Perang Diponegoro berakhir, Kompeni Belanda berani menghadap Sultan Hamengku Buwono 5. Mereka membujuk dan memutarbalikkan fakta, bahwa Pangeran Diponegoro dan seluruh pengikutnya adalah pemberontak. Hal ini membuat prajurit dan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang masih tersisa, termasuk putro wayah Mbah Kyai Nur Iman tidak berani kembali ke desa asalnya, karena takut ditangkap oleh Kompeni Belanda. 
Dimana para pengikut dan prajurit itu mendapat tempat yang aman, disitulah mereka bermukim. Sehingga secara tidak langsung terjadi penyebaran penduduk dan agama. Kejadian ini juga menjadikan keturunan Mbah Kyai Nur Iman tersebar tidak hanya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tapi juga yang ada di Jawa Barat dan Jawa Timur bahkan ada yang diluar jawa.
Sementara itu, Mbah Kyai Nur Iman sendiri memilih bertempat tinggal di dusun Mlangi hingga akhir hayatnya, tepatnya disebelah barat Masjid Mlangi. Setelah meninggal, Mbah Kyai Nur Iman dimakamkan di belakang Masjid. Makam tersebut dinamakan Makam Pangeran Bei / Pesareyan Kagungan Dalem Kasultanan, sehingga gapura masuk kompleks Pesareyanpun berciri khas Kraton.
Dan sebagaimana makam para Auliya’ dan Ulama Besar yang lain, Makam Mbah Kyai Nur Iman juga banyak dikunjungi tamu-tamu yang berziarah dari luar daerah, bahkan dari luar Pulau Jawa. Para Peziarah ada yang perorangan maupun berombongan.
Mbah Kyai Nur Iman Meninggalkan 14 Putra dan 4 Istri :
v Dari istri I, Beliau meninggalkan 9 orang putra dan putri, yaitu:
1. Kyai Mursodo 
2. Kyai Nawawi 
3. Nyai Safangatun
4. R.M.Taftoyani 
5. Kyai Mansur 
6. Nyai Murfakiyyah 
7. Kyai Muhsin Besari
8. Kyai Musa
9. Nyai Karang Mas
v Dari istri II, Beliau meninggalkan 3 orang putra dan putri, yaitu:
1. Nyai Soleh
2. Kyai Salim
3. Nyai Jaelani
v Dari istri III, Beliau meninggalkan 2 orang putri, yaitu:
1. Nyai Abu Tohir
2. Nyai Mas Tumenggung
v Dari istri IV, Beliau meninggalkan 1 orang putra, yaitu:
1. Kyai Rofingi (R.M. Mansjur Muhyidin Tuan Guru Loning)
Diantara putra-putri Mbah Kyai Nur Iman ada yang diangkat sebagai Bupati Sempon / Kedu, yaitu Kyai Taftoyani. Ada pula yang sebagai Penghulu Kraton, yaitu Kyai Nawawi.
Pondok Pesantren Mlangi
Hingga saat ini, seiring dengan majunya zaman dan berkembangnya dunia pendidikan, di dusun Mlangi telah tumbuh beberapa Pondok Pesantren, diantaranya :
1. PP. Al-Miftah yang diasuh oleh Kyai Siruddin diteruskan oleh KH. Munahar.
2. PP. As-Salafiyyah yang diasuh oleh Kyai Masduqi diteruskan oleh KH. Suja’I Masduqi.
3. PP. Al-Falahiyyah yang diasuh oleh KH. Zamrudin diteruskan oleh Ny. Hj. Zamrudin.
4. PP. Al-Huda yang diasuh oleh KH. Muchtar Dawam.
5. PP. Mlangi Timur yang diasuh oleh KH. Wafirudin diteruskan oleh Ny. Hj. Wafirudin.
6. PP. Hujjatul Islam yang diasuh oleh KH. Qothrul Aziz.
7. PP. As-Salimiyyah yang diasuh oleh KH. Salimi.
8. PP. An-Nasyath yang diasuh oleh KH. Sami’an.
9. PP. Ar-Risalah yang diasuh oleh KH. Abdullah.
10. PP. Hidayatul Mubtadiin yang diasuh oleh KH. Nur Iman Muqim.
Adapun Pondok Pesantren yang ada diluar daerah Yogyakarta yang ternyata masih keturunan Mbah Kyai Nur Iman, antara lain:
1. PP. Watu Congol, Muntilan yang diasuh oleh KH. Ali Qoishor Abdul Haq.
2. PP. Tegalrejo, Magelang yang diasuh oleh KH. M Yusuf  Khudlori.
3. PP. Al-Asy’ariyyah, Kalibeber Wonosobo yang diasuh oleh KH. Faqih Muntaha.
4. PP. An-Nawawi, Berjan Purworejo yang diasuh oleh KH. A Khalwani.
5. PP. Bambu Runcing, Parakan Temanggung yang diasuh oleh KH. Yusuf Muhaiminan.
6. PP. Secang, Sempu, Magelang yang diasuh oleh KH. Ismail Ali.
7. PP. Nurul Iman, Jambi yang diasuh oleh KH.Sohibdan Ny. Hj. Bahriyah.
8. PP Al hikmah Kiyangkongrejo kutoarjo yang Di Asuh Mbah Kyai Wahib 
9. Yayasan Alif Yasin Sidamulya Banjarnegara  yang di pimpin Gus Achmad Muhammad Najib Alqolyubi 
Serta beberapa pesantren lain di daerah Kutoarjo dan daerah Cilacap dan lainnya
Selain itu, Mbah Kyai Nur Iman juga menulis 2 buah karya ilmiah, yaitu :
1. Kitab Taqwim (Ringkasan Ilmu Nahwu)
2. Kitab Ilmu Sorof (Ringkasan Ilmu Sorof)
Tradisi agamis dan amalan yang masih dilestarikan hingga saat ini, antara lain :
1. Ziaroh / ngirim Ahli Qubur dengan cara membaca tahlil dan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas, dan lain-lain.
2. Membaca Sholawat Tunjina (untuk memohon keselamatan di dalam hajatan-hajatan).
3. Membaca sholawat Nariyah (untuk selamatan orang hajat seperti orang hamil, dan lain-lain).
4. Membaca Kalimah Thoyyibah, Tahlil Pitung Lekso (Khususnya jika diperlukan untuk obat / tombo sapu jagad).
5. Manaqiban / Abdul Qodiran.
6. Dalam bentuk kesenian :
v Barzanji / Rodadan
v Sholawatan / Kojan dan lain-lain.
Untuk menghormati dan mengenang sejarah perjuangan Mbah Kyai Nur Iman, para alim ulama dan tokoh masyarakat sepakat mengadakan Khaul, yang diselenggarakan setiap tahun pada bulan Suro malam tanggal 15. Adapun pelaksana penyelenggaraan acara Khaul Mbah Kyai Nur Iman adalah KH. Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Risalah dengan didukung sepenuhnya oleh masyarakat Mlangi.
Demikianlah sejarah singkat Mbah Kyai Nur Iman atau BPH. Sandiyo, seorang ulama dan Auliya’, sekaligus juga seorang bangsawan dan cikal bakal pendiri dusun Mlangi. 
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja, setidaknya sebagai dokumentasi serta sumbangan wawasan dan khazanah pengetahuan, khususnya bagi yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah dan tokoh Islam di Pualu Jawa. 
Namun demikian, mengingat keterbatasan sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan, baik yang tertulis maupun berupa riwayat-riwayat dan bukti-bukti otentik yang dapat dipertanggung jawabkan, maka tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan atau hal-hal penting yang tidak tercantum dalam penulisan sejarah singkat ini. Untuk itu kami senantiasa mengharapkan sumbang saran dan masukan dari siapa saja yang tentunya akan sangat berguna bagi kelengkapan sejarah milik kita bersama ini.
RM. Masyur Muchyidin arrofingi ( Tuan Guru Loning ) mempunyai 5 istri yaitu :
1. Garwa Putri penghulu Demak, dari Istri ini beliau menurunkan ;
1. RM . Haji Ngabdurrochman
2. Garwa Alang - Alang Amba, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Fatimah / Kyai Sayyid Taslim Bulus
2. RA. Djamilah Sangid
3. RM. Haji Muhammad Nur
4. RM. Kyai Bustam
3. Garwa Putri Dipodirjo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RA. Muhammad Zein
2. RM. Kyai Machmud
3. RA. Yai Istad
4. RM Haji Soleh
4. Garwa Putri Lurah Krojo, dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Chamid Tritis
5. Garwa Putri Kyai Soleh Qulhu Magelang,dari istri ini beliau menurunkan ;
1. RM. Haji Ngabdullah Mahlan
Dan ada riwayat lain Syaikh Muchyidin Arrofi'i mempunyai 10 putra putri (9 wanita 1 pria) dari salah satu Istrinya putri dari Sayid Abu Bakar Aljilani Alhasany ‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar